Akademisi dan Aktivis HAM Yogyakarta Tolak Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto

Akademisi dan Aktivis HAM Yogyakarta Tolak Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto

Sejumlah aktivis Yogyakarta dan pegiat HAM menyatakan sikap penolakan gelar pahlawan untuk Soeharto, disampaikan dalam forum bedah buku di Gedung Universitas Islam Indonesia (UII) Cik Di Tiro, Yogyakarta, Jumat (31/10/2025) malam. --dok. Forum Cik Di Tiro

YOGYAKARTA, diswayjogja.id - Sejumlah akademisi, aktivis hak asasi manusia (HAM), dan mahasiswa di Yogyakarta menyatakan penolakan terhadap rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden Kedua Republik Indonesia, Soeharto. 

Mereka menilai, Soeharto justru memiliki rekam jejak panjang sebagai pelanggar HAM berat yang seharusnya diadili, bukan dijadikan pahlawan.

Sikap tersebut mengemuka dalam acara bedah buku “Mereka Hilang Tak Kembali: Sejarah Kekerasan Orde Baru 1966–1998” yang digelar di Gedung Universitas Islam Indonesia (UII) Cik Di Tiro, Yogyakarta, Jumat (31/10/2025) malam.

Buku yang diterbitkan EA Books itu membedah berbagai praktik kekerasan negara dan pelanggaran HAM selama rezim Orde Baru.

BACA JUGA :  Mahasiswa UNY Gelar Aksi Damai “Menjemput Ari”, Tuntut Keadilan dan Tuding Kriminalisasi Aktivis Kampus

BACA JUGA : Aliansi Jogja Memanggil Kirim Surat ke 6 Lembaga Negara, Desak Reformasi Polri dan Pembebasan Aktivis

Saat ini, usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto telah bergulir dan menunggu keputusan Presiden Prabowo Subianto. Sejumlah pihak, terutama pegiat HAM, telah menyampaikan penolakan terhadap rencana tersebut.

Salah satu penulis buku, AS Rimbawana, memaparkan bahwa di bawah kepemimpinan Soeharto, terjadi berbagai pelanggaran HAM berat di berbagai daerah di Indonesia. 

“Mulai dari peristiwa 1965, Malari (1974), konflik di Aceh, Timor Timur, Papua, hingga penembakan misterius (Petrus) pada 1982–1985,” ujarnya.

Dia juga menyoroti tanggung jawab Soeharto atas sejumlah tragedi besar lain, seperti Tanjung Priok (1984), Talangsari (1989), Kudatuli (1996), penculikan aktivis (1997–1998), geger dukun santet (1998), serta Tragedi Semanggi I dan II (1998–1999).

BACA JUGA : Penangkapan Aktivis di Yogyakarta dan Surabaya, Aliansi Jogja Memanggil Sebut Polisi Lakukan Teror

BACA JUGA : Aktivis Muhammad Fakhrurrozi Ditangkap di Yogyakarta, Tim Advokasi Desak Pembebasan

 “Soeharto meninggalkan trauma kolektif yang masih dirasakan hingga kini. Ia mewariskan sistem pemerintahan otoritarian yang masih terus digunakan sampai sekarang,” kata Rimba.

Menurutnya, pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto adalah bentuk pengkhianatan terhadap sejarah dan para korban pelanggaran HAM. 

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: