Herlambang Kritik Wacana Soeharto Jadi Pahlawan, Sebut Impunitas dan Manipulasi Hukum Makin Sistematis
Herlambang Perdana Wiratraman, dosen Departemen Hukum Tata Negara Universitas Airlangga, saat ditemui usai membacakan surat terbuka penolakan wacana Soeharto sebagai pahlawan nasional dalam diskusi publik di Sleman, Jumat (7/11/2025).--Foto: Kristiani Tandi Rani/diswayjogja.id
SLEMAN, diswayjogja.id - Gelombang penolakan terhadap wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden Soeharto kembali menyeruak.
Sejumlah akademisi dan aktivis hukum menilai, langkah tersebut tidak hanya mengaburkan sejarah, tetapi juga mengancam komitmen bangsa terhadap penegakan hak asasi manusia (HAM).
Salah satu suara kritis datang dari Herlambang Perdana Wiratraman, dosen Departemen Hukum Tata Negara Universitas Airlangga, yang menegaskan bahwa perjuangan publik hari ini bukan soal menilai masa lalu secara hitam putih, tetapi tentang mencegah legitimasi terhadap pelanggaran HAM yang belum tuntas diselesaikan.
“Saat ini, yang benar-benar diupayakan oleh publik adalah bagaimana menghentikan Soeharto agar tidak dijadikan pahlawan nasional. Karena jelas, pesan politiknya seperti yang saya bilang tadi adalah impunitas dan unitarisme yang dinormalisasi,” katanya saat membacakan surat terbuka penolakan terhadap rencana pemberian gelar tersebut, Jumat (7/11/2025).
Ia menilai, pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional justru memperpanjang pola impunitas dalam sistem kekuasaan Indonesia.
“Pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM akan hilang, dan itu berarti impunitas akan semakin melekat dalam sistem kekuasaan yang tidak pernah tahu ujung penyelesaiannya,” tegasnya.
BACA JUGA : Laga Barito Putera vs PSS Sleman, Ansyari Lubis Ingin Jaga Posisi Puncak Championship League
BACA JUGA : Akademisi dan Aktivis HAM Yogyakarta Tolak Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto
Baginya, perdebatan mengenai figur-figur lain yang juga diusulkan sebagai pahlawan bisa jadi terbuka, namun ada hal yang lebih mendesak untuk diperhatikan, memastikan perlindungan hak-hak warga negara tidak kembali dikorbankan demi kepentingan politik simbolik.
“Saya sendiri tidak dalam posisi membawa pesan ke arah itu, karena tantangan terbesar kita hari ini justru soal perlindungan hak-hak warga negara,” pungkasnya.
Pernyataannya ini mencerminkan kegelisahan banyak pihak yang menilai negara belum menuntaskan warisan gelap masa Orde Baru.
Dalam konteks itu, pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto dianggap sebagai langkah mundur bagi demokrasi dan keadilan transisional di Indonesia.
Meski demikian, ia mengakui bahwa refleksi terhadap masa lalu tetap diperlukan.
“Kalau mau merefleksikan semuanya secara komparatif, ya tentu akan panjang. Tapi intinya, jangan sampai kita memuliakan mereka yang justru melanggar hak rakyatnya sendiri," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber: