Akademisi dan Aktivis HAM Yogyakarta Tolak Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto

Akademisi dan Aktivis HAM Yogyakarta Tolak Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto

Sejumlah aktivis Yogyakarta dan pegiat HAM menyatakan sikap penolakan gelar pahlawan untuk Soeharto, disampaikan dalam forum bedah buku di Gedung Universitas Islam Indonesia (UII) Cik Di Tiro, Yogyakarta, Jumat (31/10/2025) malam. --dok. Forum Cik Di Tiro

“Dia justru lebih pantas disebut penjahat HAM masa lalu. Para korban masih menunggu keadilan yang tak pernah datang,” tegasnya.

Arsiparis dan peneliti Muhidin M. Dahlan menilai buku tersebut menjadi dokumentasi penting yang merangkum perilaku kekuasaan yang sarat kekerasan di masa Orde Baru. 

BACA JUGA : Tindes Art dan Andong Buku Rayakan Seni, Literasi dan Desain di Bentara Budaya Yogyakarta

BACA JUGA : Bedah Buku Jokowi’s White Paper, Roy Suryo Bocorkan Buku Kedua dan Ketiga Sindir Pemimpin Saat Ini

“Buku ini menunjukkan dengan jelas bahwa Jenderal Soeharto adalah dalang di balik berbagai peristiwa pelanggaran HAM,” ujarnya.

Muhidin menambahkan, berdasarkan sejumlah catatan sejarah, Soeharto mengalami trauma sejak masa muda akibat perundungan (bullying). 

“Trauma itu mungkin memengaruhi cara pandangnya terhadap kekuasaan, sehingga selama 32 tahun berkuasa, ia merasa tidak bersalah melakukan pelanggaran dan penyimpangan,” terangnya.

Dia juga menyoroti keberadaan Museum Soeharto di Sedayu, Bantul, Yogyakarta.

BACA JUGA : Roy Suryo Bedah Buku “Jokowi’s White Paper” di UII Yogyakarta, Singgung Isu Akademik dan Literasi

BACA JUGA : Penambang Sungai Progo Tunggu Audiensi dengan Sri Sultan, Desak Revisi Aturan Tambang Rakyat

“Kalau Soeharto jadi pahlawan, maka tinggal menunggu waktu akan muncul Jalan Soeharto atau patung Soeharto di tempat strategis,” sindir Muhidin.

Dari kalangan akademisi, Guru Besar UII Prof. Masduki menjelaskan bahwa pemerintahan Orde Baru melakukan empat bentuk kekerasan sistematis. Pertama, kekerasan fisik oleh aparat militer, yang tampak dari berbagai peristiwa pelanggaran HAM sejak 1965 hingga 1998. Kedua, kekerasan simbolik melalui narasi dan komunikasi represif, termasuk pencitraan Soeharto sebagai “Jenderal Murah Senyum”.

Ketiga, kekerasan pengetahuan melalui manipulasi sejarah, terutama terkait peristiwa 1965. Keempat, kekerasan politik kultural, seperti praktik politik dinasti. “Empat bentuk kekerasan ini tidak berhenti di masa Orde Baru, tetapi diwariskan hingga kini,” jelas Masduki.

Acara bedah buku tersebut ditutup dengan pembacaan pernyataan sikap bersama. Dalam pernyataan itu, para peserta menegaskan penolakan terhadap pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.

“Soeharto tidak pantas menjadi pahlawan nasional. Ia seorang tiran yang meninggalkan penderitaan di banyak sektor. Menjadikan Soeharto pahlawan akan menyakiti para korban dan merupakan bentuk pengkhianatan terhadap bangsa,” demikian isi pernyataan tersebut.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: