Keistimewaan DIY di Antara Dilema Situasi People Pleaser dan Sandwich Generation
Diskusi Keistimewaan DIY di Antara Dilema Situasi People Pleaser dan Sandwich Generation di Studio StarJogja-jogjapolitan.harianjogja.com-
Ia mengatakan Keistimewaan Jogja tidak lepas dari budaya yang dilestarikan oleh masyarakat.
Katanya, belum lama ini sempat viral di media sosial kemiskinan di Jogja tertinggi di Pulau Jawa namun indeks kebahagiaan di Jogja juga paling tinggi. Kondisi tersebut dinilai unik karena proses kebudayaan yang dijalankan masyarakat Jogja.
“Terus ada yang menjelaskan (kemiskinan tinggi di Jogja) karena warga Jogja nrimo ing pandum, jadi meskipun miskin tetap bahagia. Nah, ketika budaya itu digebyah uyah, disamaratakan, ternyata menimbulkan masalah,” katanya.
Ia menyontohkan soal konsep berbakti kepada orang tua, di mana konsep tersebut menimbulkan masalah ketika si anak ternyata tidak mampu melakukan apa yang di luar kemampuannya. Maka, kata Mala, lahirlah Sandwich Generation.
“Ada juga konsep banyak anak banyak rejeki, akhirnya ada minset yang berkembang, mereka memandang anak-anak sebagai aset. Nah, ketika orang tua hanya memandang anak sebagai aset akan menimbulkan masalah. Karena anak-anak ini merasa punya beban yang lebih, tanggung jawab yang lebih, yang akhirnya menimbulkan keadaan Sandwich Generation tadi,” katanya.
“Karena anak harus menanggung adik-adiknya karena konsep itu. Ya karena anak harus berbakti kepada orang tua, harus ngasih bapak, ngasih ibu, karena ayah ibunya sudah membesarkan kalian sekarang gantian sudah gede menafkahin ibu bapak, adik-adiknya juga,” katanya.
BACA JUGA : Petani Milenial di Sleman Sukses Manfaatkan Teknologi Modern, Pemkab Berikan Apresiasi
BACA JUGA : Situasi Kebocoran Semen Di Bantul Yogyakarta Cukup Menarik Perhatian Publik
Ia pun mengatakan, banyak nilai-nilai keistimewaan DIY yang dapat memutus lahirnya Sandwich Generation. Hal itu contohnya, bisa dilakukan dengan menerapkan gotong-royong, tolong menolong, dan sebagainya.
Menanggapi hal itu, Eni menyatakan jika budipekerti seperti menghormati dan patuh kepada orang tua di sisi lain hal itu menimbulkan masalah.
Meski begitu, sifat unggah ungguh, menghargai, selalu mengayomi, tetap menjadi bagian dari kebudayaan dan ditekankan bagi masyarakat Jogja.
“Apakah berbaktinya itu kebangetan atau tidak sehingga di luar kemampuan sang anak. Tapi di sisi lain, juga menjadi perang batin bagi si anak. Jadi nrimo ing pandum juga harus rasional. Bagaimana orang tetap harus bekerja, meningkatkan perekonomian, tetap menciptakan harmonisasi dalam rumah tangga, karena itu salah satu budaya yang kami unggulkan di Jogja,” katanya.
Terkait dengan people pleaser, Psikolog Klinis UPT PPA Kota Jogja Devi Riana Sari menilai dari sudut pandang psikologi.
Menurutnya, people pleaser itu tidak bisa diagnosa secara medis atau diukur dengan medis. Kata Devi fenomena tersebut lahir karena orang yang selalu ingin membantu dan membahagiakan orang lain namun menegasikan dirinya sendiri.
“Dalam dinamikanya people pleaser ini tumbuh dari rasa tidak aman yang terbentuk dari masa lalunya, yang berangkat dari pola asuh orang tua yang otoriter. Saat kecil, anak tidak diberi ruang untuk mengemukaan pendapat. Orang tua menuntut segala sesuatu pada anaknya tanpa meminta di anak menjelaskan,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: harianjogja.com