Ki Tobat Surono, Dalang Serba Bisa Asal Tegal, Piawai Melakonkan Babad
PENTAS – Ki Tobat Surono mementaskan wayang golek di salah satu acara. Ki Tobat merupakan dalang serbabisa dan piawai melakonkan babad.-ISTIMEWA-
TEGAL, DISWAYJOGJA - Sepeninggal Ki Enthus Susmono, Tegal seperti kehilangan ikon dalam dunia pewayangan. Namun sebenarnya, tlatah ini masih memiliki seorang dalang yang tidak kalah ikoniknya. Dia adalah sepupu dari Ki Enthus sendiri, yaitu Ki Tobat Surono yang kini menetap di Kelurahan Pesurungan Kidul, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal.
“Waalaikumsalam, silakan masuk,” ucap seorang lelaki yang muncul dari ruangan tengah saat Radar Tegal berkunjung Rabu sore (10/1). Lelaki berkaos dengan rambut panjang terikat itu sudah bisa ditebak adalah sang tuan rumah: Ki Tobat Surono. Meski tidak mengenakan pakaian khasnya, aura seorang dalang tetap terlihat.
Tidak lama berselang, dua gelas teh hangat dan sepiring jajan diantarkan putri Ki Tobat. Meski matanya terkena katarak karena sering terkena cahaya lampu blitz saat pentas, kacamata yang dikenakan Surono membantunya melihat jelas siapa tamunya yang datang.
“Saya memang tidak mau dioperasi mata, karena yakin akan hilang sendiri jika sering membaca Alquran,” tutur Ki Tobat.
BACA JUGA:Cara Ki Tarto, Dalang Asal Brebes Pertahankan Warisan Leluhur di Era Modernisasi
Surono kecil lahir di Desa Munjung Agung, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal. Dia tumbuh besar di keluarga trah dalang. Ayahnya Ki Rubandio Leksono adalah seorang dalang yang merupakan putra dari Ki Suharjo Leksono. Ki Suharjo sendiri putra dari Raden Asmadipa atau Dalang Kantong yang merupakan putra Ki Dipa Leksono yang menurunkan dalang-dalang di Tegal, termasuk Ki Enthus.
Ki Tobat Surono, dalang serbabisa asal Tegal.-ISTIMEWA-
Seperti Susmono yang mendapat julukan Enthus, Surono yang dilahirkan 5 Desember 1970 juga diberi julukan oleh leluhurnya, yaitu Tobat. Julukan tersebut lalu melekat kepada Surono yang selanjutnya dikenal dengan nama panggung Ki Tobat Surono. Terkait julukan itu, Ki Tobat tidak menjelaskan alasan resmi dari leluhurnya.
Yang jelas, secara etimologi, tobat atau taubat berasal dari bahasa Arab yakni tawaba yang berarti kembali. Julukan tersebut di kemudian hari barangkali dapat menggambarkan perjalanan hidup Ki Tobat. Ki Tobat yang sempat mengembara menjadi broadcaster sejumlah stasiun radio di Bandung, akhirnya pulang dan kembali terjun ke dunia pewayangan.
BACA JUGA:Pra-Munas Daring, Ki Haryo Usulkan Pembagian Langkah Strategis Kebudayaan
Kemampuan mendalang Ki Tobat digembleng secara langsung oleh sang ayah sejak sekolah dasar, serta menerima transfer ilmu dari lingkaran terdekatnya maupun yang sudah dianggap sebagai gurunya seperti Mbah Dalang Paing, Mas Dalang Warnoto, Ki Dalang Rahmat Sutego, Ki Dalang Gunawan Suwati, dan Ki Dalang Gondo Darman.
Bersama Grup Padepokan Bahari Laras, Ki Tobat biasanya membawa lima puluhan awak dalam setiap kali pementasannya. Ki Tobat merupakan dalang yang serbabisa. Tidak hanya Tegalan, Ki Tobat mahir membawakan wayang, baik wayang kulit maupun golek gaya Jogjanan, Surakartanan, Banyumasan, Cerbonan, maupun Bandungan (Jawa Barat).
Apabila Ki Enthus memiliki Lupit dan Slenteng yang mampu menyihir penonton, Ki Tobat mempunyai Oreg dan Kombor, dua wayang golek ciri khasnya. Jika Ki Enthus memiliki kekuatan dalam interpretasi dan mengadaptasi serta memiliki kejelian membaca isu terkini, Ki Tobat sendiri piawai membawakan lakon babad atau peristiwa sejarah lokal.
BACA JUGA:Bertemu Pengurus DKDKT, Kepala Dispermades Kabupaten Tegal Siap Gaungkan Desa Bangga Budaya
Babad yang pernah dilakonkannya seperti Berdirinya Nama Tegal (Sunan Drajat Mbah Panggung dalam Mendirikan Nama Tegal) yang menceritakan tentang berdirinya Tegal, Raden Lintang Sumirat yang meriwayatkan tentang Bung Karno dan Jenderal Soedirman, serta Santri Kamil yang mengisahkan sejarah Sunan Kalijaga dalam mensyiarkan Islam.
Bukan tanpa alasan Ki Tobat memiliki wawasan, sehingga fasih menyampaikan babad. Selain dari karya ritual leluhur, di tangannya terwariskan kitab-kitab dari leluhurnya, di antaranya sempalan Kitab Serat Centini, Kitab Pararaton, dan Kitab Wringin Sapto. Ada kisah yang cukup mencengangkan terkait sempalan kitab-kitab yang berada di genggamannya itu.
Pada 1996, sutradara Toro Margens sempat menawar salah satu kitabnya dengan harga yang sangat fantastis. Namun, Ki Tobat dengan penuh keyakinan menolak tawaran itu. Ki Tobat memiliki alasan yang dipandangnya lebih berharga ketimbang uang.
“Saya berpegang teguh untuk mewarisi sejarah lengkap untuk tanah Tegal dan sekitarnya,” kata Ki Tobat.
Ki Tobat lalu menceritakan, dalam sebuah hajatan maupun sedekah bumi, ada juga beberapa babad yang pantang untuk dilakonkan. Yakni seperti kisah Gugurnya Martoloyo Martopuro, Nyi Ronggeng, Tegal Pemalang Komplang, dan Ki Ageng Jaka Poleng. Terkait alasannya, Ki Tobat menolak membahasnya. “Tidak percaya? Buktikan sendiri,” ucap Ki Tobat serius.
Wawasan mengenai babad yang dimiliki Ki Tobat cukup luas. Itu membuat dirinya tidak hanya dikenal sebagai dalang, namun juga pantas disebut sejarawan. Sejak dulu, banyak orang yang datang menemui Ki Tobat untuk menyelami sejarah tertentu. Ki Tobat seperti sumber mata air yang mengalirkan narasi-narasi sejarah, khususnya yang berkembang di Kota Tegal.
Suami dari Rita Ningrum ini sering diundang mengisi kajian untuk membedah sejarah. Ayahanda dari Satria Pringga Laksana, Dwi Ayu Pusparini, Tri Pramesti Cahyaningtyas, serta Sekar Mukti Pinasti mengaku nunut dengan Sunan Kalijaga yang berdakwah melalui wayang. Karena itu, selalu menyisipkan dakwah dalam setiap pentasnya.
Di penghujung wawancara, Ki Tobat menegaskan akan menjadi dalang yang setia pada pakem. Dia ingin pementasan wayang yang dibawakannya tidak hanya bermanfaat sebagai tontonan untuk masyarakat, namun juga tuntunan. “Betul?” ucap Ki Tobat dengan logat dan intonasi suara yang terdengar sangat mirip dengan Ki Enthus. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: