Jejak Raja Airlangga Hadir di Bentara Budaya, Seni Rupa Membaca Ulang Kepemimpinan Jawa-Bali
Pameran seni rupa “AIRLANGGA” karya 20 seniman lintas generasi, di Bentara Budaya Yogyakarta, menghadirkan pembacaan ulang sosok Raja Airlangga sebagai figur kepemimpinan Jawa-Bali, pameran ini berlangsung 21-30 Desember 2025.--Foto: Anam AK/diswayjogja.id
YOGYAKARTA, diswayjogja.id - Di tengah zaman yang kerap memaknai kepemimpinan sebatas simbol, jabatan, dan pencitraan, Bentara Budaya Yogyakarta mengajak publik menoleh ke belakang, menyusuri jejak seorang raja yang membangun kuasa dari laku batin dan kebijaksanaan.
Melalui pameran seni rupa bertajuk “AIRLANGGA”, sosok Raja Airlangga, penguasa besar Jawa-Bali abad ke-11, dihadirkan kembali sebagai cermin nilai kepemimpinan yang relevan lintas zaman.
Pameran ini dibuka pada Sabtu (20/12/2025) malam, dan akan berlangsung hingga 30 Desember 2025. Menjadi penutup rangkaian kegiatan Bentara Budaya sepanjang tahun 2025, “AIRLANGGA” bukan sekadar peristiwa seni, melainkan ruang refleksi tentang makna kekuasaan, tanggung jawab moral, dan keberpihakan pada kehidupan bersama.
Kurator pameran, Hermanu, mengingatkan kembali pada peristiwa Mahapralaya tahun 1006, ketika Gunung Merapi meletus dahsyat dan mengguncang pusat Kerajaan Medang. Dalam sejarah Nusantara, Airlangga tidak dikenang semata sebagai raja penakluk. Ia adalah figur pemimpin yang lahir dari kehancuran.
BACA JUGA : Tindes Art dan Andong Buku Rayakan Seni, Literasi dan Desain di Bentara Budaya Yogyakarta
BACA JUGA : Pameran Sejarah Pangastho Aji di Keraton Yogyakarta, Warisan Budaya Sri Sultan HB VIII
Di saat yang hampir bersamaan, berlangsung pernikahan agung Airlangga dengan putri Raja Dharmawangsa Teguh. Namun pesta itu berubah menjadi petaka ketika Raja Wora Wari dari Blora, sekutu wangsa Syailendra yang melancarkan serangan.
Ibu kota Medang jatuh, Dharmawangsa gugur, dan Airlangga yang masih muda terpaksa melarikan diri ke hutan bersama pengawal setianya, Narotama.
Selama tiga tahun, Airlangga menjalani kehidupan asketis bersama para biksu di hutan Wonogiri. Dari laku tapa itulah lahir pemimpin yang kelak diminta rakyat dan punggawa untuk naik tahta.
Dia mendirikan Kerajaan Kahuripan dengan pusat di Watan Mas (kini sekitar Sidoarjo), menyatukan kembali wilayah Jawa dan Bali di bawah Wangsa Isyana, dan memerintah dengan stabil dari tahun 1009 hingga 1049.
BACA JUGA : GIK UGM Hadirkan Pameran 'Mampir Gelanggang', Sajikan 138 Karya Visual dari 18 Seniman
BACA JUGA : Soroti Soal Sampah, Kedai Kebun Forum Gelar Pameran 'Uwuhmu Tekan Ndi'
“Airlangga adalah contoh pemimpin yang lahir dari penderitaan dan keheningan, bukan dari ambisi. Ia memerintah dengan toleransi, merangkul Hindu dan Buddha, serta menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai fondasi kekuasaan,” ujar Hermanu.
Kuratorial pameran menempatkan Airlangga bukan sebagai figur monumental yang membeku dalam sejarah, melainkan sebagai simbol nilai yaitu keteguhan, kebijaksanaan, laku spiritual, dan tanggung jawab pemimpin terhadap kehidupan bersama.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber: