Pembangunan Kota Tegal, Ahli Sarankan Pemekaran Wilayah, Desa Mejasem Menarik Dikaji
PUSAT KOTA – Pekerja sedang membersihkan rumput di Alun-Alun Kota Tegal yang berada di pusat kota.-K. ANAM SYAHMADANI/RADAR TEGAL -
TEGAL, DISWAYJOGJA - Dengan memiliki luas wilayah administrasi hanya berkisar 40 kilometer persegi dan populasi penduduk hampir menyentuh angka 300.000 jiwa, Kota Tegal menjadi kota perdagangan dan jasa yang mengalami pertumbuhan pesat. Kota yang terletak di pesisir Pantai Utara (Pantura) Jawa akan menghadapi sejumlah tantangan pembangunan.
BACA JUGA:Komisi III DPRD Kota Tegal Sentil EO Tak Bayar Retribusi Sampah
Seorang penulis, Turah Untung, pernah mengistilahkan Kota Tegal sebagai Si Kecil Mungil. Maksudnya, sebagai kota yang memiliki luas wilayah tidak terlalu besar dan sumber daya alamnya terbatas, namun mempunyai potensi, sehingga menjadi medan magnet perekonomian dan mampu memikat warga daerah sekitar untuk datang berkunjung.
Namun demikian, dengan luasan hanya sekitar 40 kilometer persegi, Kota Tegal dirasakan akan semakin kurang memadai untuk dapat tumbuh menjadi Kota Besar. Pembangunan bolak-balik setiap wali kota hanya seputar di Jalan Ahmad Yani, Alun-Alun Kota Tegal, Jalan Pancasila, Taman Stasiun, dan Pantai Alam Indah. Garis pantai Kota Tegal juga sangat pendek dan sudah penuh sesak.
BACA JUGA:Masjid Agung Kota Tegal, Dibangun saat Perang Jawa, Konon Pernah Dikunjungi Pangeran Diponegoro
BACA JUGA:Dites Urine BNN, 23 Karyawan BG Kota Tegal Negatif
Ahli Perancangan Kota Abdullah Sungkar menyampaikan, sepanjang sejarahnya Kota Tegal baru memiliki beberapa sensasi dari sense of place, antara lain, Kawasan Stasiun Tegal, Alun-Alun Tegal, Masjid Agung, Jalan Pemuda, dan Pantai Alam Indah. Hampir semuanya merupakan sensasi dan persepsi historis serta memori kolektif warga Kota Tegal dan sekitarnya.
Namun, mall-mall dan pusat perbelanjaan yang telah tumbuh di Kota Tegal dinilai belum mampu menghadirkan sense of place baru di Kota Tegal. Dengan gambaran tersebut, Sungkar menilai, Kota Tegal cukup sulit untuk dikembangkan lebih maju. Kota berjuluk Kota Bahari ini akan mengalami kesulitan untuk menjadi kota yang ideal.
Rasio lahan per jiwa hanya 0,07, dan angka ini hanya dapat dipenuhi Kelurahan Muarareja. Runoff coeffesient Kota Tegal 0,56 yang maknanya 50 persen tutupan lahan dan pemanfaatannya sudah merupakan lahan perkotaan yang impervious atau tidak mampu meresapkan air. Luas efektif yang tersisa dari 40 kilometer persegi tinggal 20 kilometer persegi.
HILIR MUDIK – Masyarakat pengedara sepeda motor hilir mudik di jalur yang menghubungan Kelurahan Slerok dan Desa Mejasem.-K. ANAM SYAHMADANI/RADAR TEGAL -
Namun, inipun dikurangi sebanyak 30 persen dari total luasan untuk ruang terbuka hijau sesuai ketentuan Undang-Undang Penataan Ruang. Sehingga, lahan efektif yang dapat masuk kategori Lingkungan Budidaya tinggal 12 kilometer persegi saja. Kelangkaan lahan tentu akan menjadi kendala bagi masuknya investor ke Kota Tegal.
Ini, lanjut Sungkar, karena dua dampak ikutan yang ditimbulkan, yakni tingginya harga tanah dan sulitnya mencari kesesuaian lahan di Kota Tegal. “Karena itu, pilihan jangka panjang Kota Tegal hanya pemekaran wilayah administrasi guna menambah luasan lahan kota dan garis pantainya,” kata Sungkar kemarin.
Sungkar berpendapat, Desa Mejasem, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal dan khususnya Desa Mejasem Barat sangat menarik untuk diamati dan dikaji. Hal ini karena transformasi spatsial yang nyaris sempurna sebagai evolusi sebuah kota. Evolusi ini diawali sebuah proyek permukiman perumahan nasional pada akhir dekade 1970. Permukiman ini berlokasi di sisi utara jalan Langon-Kemantran.
Berikutnya berkembang perumahan di sepanjang jalan baru ke arah utara bersambung dengan Jalan Pabrik Texin menuju Jalan Raya Pantura. Pada segmen koridor jalan baru ini berkembang perumahan dengan ukuran lahan dan bangunan yang lebih besar sebagai rumah tunggal yang berbeda dengan rumah kopel perumahan nasional.
BACA JUGA:Presiden Jokowi Direncanakan Berkunjung ke Tegal-Brebes. Berikut jadwalnya
Memasuki dekade 1980-1990, para pengembang swasta membangun rumah-rumah tunggal dengan luas lahan lebih dari 100 meter persegi per kapling. Arsitektur bangunan rumah juga mengikuti tren yang berkembang pada zaman itu. Tentu saja pasar properti ini ditujukan pada konsumen kelas menengah yang berbeda dengan pasar perumahan nasional.
Penghuni baru Desa Mejasem berikutnya adalah mereka dari kelas menengah perkotaan yang terdiri dari pedagang, pengusaha swasta, dan para pejabat di lingkungan Pemerintah Kota dan Kabupaten Tegal. “Pada era ini, transformasi Desa Mejasem menjadi Satelit Kota Tegal sudah dapat diamati secara fisikal, ekonomi, dan sosial,” ungkap Sungkar.
Selanjutnya, perkembangan alih fungsi lahan lebih pesat pada dekade 1990-2000. Kini transformasi spatsial ini sudah meluas melampaui batas Desa Mejasem Barat dan Desa Mejasem Timur. Transformasi dari desa menjadi kota inilah dalam pandangan Sungkar sebagai bentuk urbanisasi yang sebenarnya, baik secara harfiah maupun ilmiah.
Sungkar melanjutkan, Kota Tegal semula luasnya hanya 15 kilometer persegi dengan jumlah penduduk 125.000 jiwa dan berkembang menjadi 40 kilometer persegi untuk penyesuaian jangka panjang. Kini, penduduk Kota Tegal bergerak ke angka 300.000 jiwa, mungkin batas penyesuaian yang dulu direncanakan sudah terjadi.
BACA JUGA:Toilet Umum Obyek Wisata Milik Pemkot Tegal Bakal Digratiskan
Kepadatan penduduk ini juga akan tumbuh bersama wilayah terbangun Kota Tegal. Kepadatan yang tinggi ini akan menjadi masalah, jika Pemerintah Kota Tegal tidak responsif terhadap keadaan. Untuk melakukan pemekaran wilayah, Sungkar menyebut diperlukan perubahan Undang-Undang Pembentukan Kota yang dapat diperjuangkan di DPR RI. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: