Sementara itu, untuk kasus yang belum kuat unsur pidananya, ia menyebut terdapat dua opsi penyelesaian, yakni penangguhan atau pembebasan.
Penilaian akan dilakukan secara objektif berdasarkan alat bukti dan ketentuan hukum yang berlaku.
“Kalau belum, ada dua, pertama ditangguhkan, kedua dibebaskan. Tinggal dilihat unsur pidananya ada atau tidak. Kalau tidak kuat, ya dilepas saja,” ujarnya.
Salah satu contohnya adalah penanganan aparat terhadap Laras Faizati, seorang perempuan yang bekerja di lembaga antarparlemen di perwakilan asing, sebagai contoh penegakan hukum yang tidak proporsional.
Ia menyebut Laras lebih tepat dipahami sebagai pihak yang terprovokasi akibat peristiwa tragis, bukan sebagai provokator.
BACA JUGA : 4 Warga Brebes Korban Kebakaran Warteg Surabaya Dirujuk ke RSUD, Plt Direktur Jamin Penanganan Medis Tuntas
BACA JUGA : Korpri dan Basnas Kabupaten Sleman Bersinergi Bantu Korban Bencana di Sumatera
Mahfud menjelaskan, peristiwa tersebut bermula saat Laras terkejut dan mengerem kendaraannya, yang kemudian berujung pada meninggalnya Afan.
Dalam kondisi emosi dan tekanan psikologis, Laras melontarkan pernyataan bernada kasar terhadap polisi.
“Dia hanya mengerem karena kaget, lalu orangnya meninggal. Dalam situasi itu dia berkata agak kasar, ‘ini biadab polisi’, lalu dianggap memprovokasi,” jelasnya.
Menurutnya, konteks pernyataan Laras harus dilihat secara utuh.
Ia menegaskan bahwa reaksi tersebut merupakan luapan emosi akibat kejadian yang mengejutkan, bukan ajakan atau hasutan untuk melakukan tindakan tertentu.
“Padahal dia itu terprovokasi, bukan memprovokasi,” imbuhnya.
BACA JUGA : Rp 1,2 Triliun Sehari Bisa Selamatkan Korban Banjir Sumatera, JCW Desak Presiden Alihkan Anggaran MBG
BACA JUGA : Bantul Kirim Relawan ke Sumbar, Standar Operasional dan Diklat Lengkap untuk Pencarian Korban Bencana
Ia menyayangkan langkah aparat yang kemudian menangkap Laras dan berujung pada pemecatan dari tempat ia bekerja.