Qanun Bendera Aceh Buntu, Pakar UMY Ajak Pemerintah Gelar Dialog Konstruktif
Pakar politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof Titin Purwaningsih, menilai Qanun Bendera Aceh seharusnya tidak dipandang sebagai ancaman terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). --dok. UMY
YOGYAKARTA, diswayjogja.id - Pakar politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof Titin Purwaningsih, menilai Qanun Bendera Aceh seharusnya tidak dipandang sebagai ancaman terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Titin mengatakan elemen-elemen dalam bendera tersebut tidak mengandung unsur separatisme, menyusul ramainya saat empat daerah sengketa resmi menjadi bagian dari Aceh.
"Kini aspirasi masyarakat Aceh kembali mengemuka, khususnya dalam menagih realisasi komitmen pemerintah pusat terhadap perjanjian Helsinki dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Salah satu tuntutan yang mengemuka adalah pengakuan terhadap bendera daerah sebagai simbol keistimewaan Aceh," ungkapnya di Gedung Pascasarjana UMY, Rabu (18/6/2025).
Menurutnya, sebagai provinsi dengan status otonomi khusus, Aceh memiliki kewenangan luas untuk mengatur pemerintahan daerahnya, termasuk dalam aspek simbolik dan identitas budaya.
BACA JUGA : UMY dan FPT University Vietnam Perkuat Kerja Sama Teknologi dan Pendidikan Bidang AI
BACA JUGA : Mengenal Dokter Rafika Augustine, Alumni UMY yang Buka Praktik dengan Tarif Seikhlasnya
Namun demikian, implementasi Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh hingga kini masih menemui jalan buntu. Meski telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) lebih dari satu dekade lalu, pemerintah pusat belum memberikan persetujuan resmi atas pelaksanaannya sebagai simbol legal daerah.
“Permasalahan ini terus berlarut karena masih adanya trauma sejarah yang belum sepenuhnya diselesaikan. Padahal perjanjian Helsinki telah menjadi jalan damai dan rekonsiliasi atas konflik panjang masa lalu. Maka dari itu, bendera sebagai simbol keistimewaan Aceh seharusnya tidak dianggap sebagai ancaman terhadap persatuan,” katanya.
Titin menambahkan bahwa dinamika hubungan antara pemerintah pusat dan daerah juga menjadi faktor yang menyebabkan mandeknya implementasi Qanun Bendera Aceh.
Ia menyebut tarik menarik antara aspirasi daerah dan kekhawatiran pemerintah pusat menciptakan kebuntuan yang berkepanjangan.
BACA JUGA : Putusan MK Pendidikan 9 Tahun Gratis, Pakar Hukum UMY Sebut Jangan Ada Diskriminasi Sekolah Swasta
BACA JUGA : Dokter Supriyatiningsih, Dosen UMY Lakukan Riset IndoCerca Deteksi Dini Kanker Serviks
“Pemerintah pusat seringkali memberikan ruang kepada daerah untuk menjalankan otonomi khusus, namun pada saat yang sama muncul kekhawatiran terhadap simbol-simbol identitas lokal yang dianggap berpotensi memicu separatisme,” ujarnya.
Melihat persoalan yang terus bergulir tanpa penyelesaian, Titin menilai pentingnya membuka ruang dialog terbuka dan berkelanjutan antara pemerintah pusat dan Pemerintah Aceh.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber: