Rahasia Nama Kalurahan di Sleman, Warisan Merapi dan Kasultanan Yogyakarta yang Sarat Makna

Rahasia Nama Kalurahan di Sleman, Warisan Merapi dan Kasultanan Yogyakarta yang Sarat Makna

Sekretaris Daerah Kabupaten Sleman, Susmiarto, menjelaskan filosofi nama-nama kalurahan di Sleman yang berakar dari sejarah Kasultanan Yogyakarta dan Gunung Merapi.--Foto: Kristiani Tandi Rani/DiswayJogja.id

“Ada yang digabung dari tiga desa, ada pula yang empat. Ini menandai upaya untuk menyederhanakan tata kelola pemerintahan sekaligus menjaga identitas budaya lokal," ujarnya.

Ia mengatakan bahwa setiap nama kalurahan tidak lahir secara kebetulan. Penamaan dilakukan dengan mempertimbangkan nilai-nilai budaya, alam, serta filosofi kehidupan masyarakat setempat.

“Nama-nama kalurahan di Sleman sering memiliki arti yang indah dan unik. Misalnya, di wilayah Sumberjo ada Madurejo, Boko Harjo, Wukir Harjo, dan Sumberharjo. Semuanya mencerminkan kekayaan bahasa dan nilai lokal," tuturnya. 

Ia menjelaskan, pola penamaan di berbagai wilayah Sleman kerap menunjukkan ciri khas masing-masing. Di daerah asal Wakil Bupati, misalnya, banyak kalurahan menggunakan awalan Sumber.

BACA JUGA : Razia Jajanan Lapangan Pemda Sleman: 4 Produk Terindikasi Bahan Berbahaya, Pedagang Justru Senang Diawasi

BACA JUGA : Insentif Guru MBG Rp100 Ribu Tuai Sorotan, Disdik Sleman Minta Mekanisme Diperjelas

“Di wilayah asal Pak Wakil Bupati, kita temukan kalurahan seperti Sumberagung, Sumberraharjo, dan Sumbersari. Nama-nama itu mencerminkan harapan akan sumber kehidupan yang melimpah, baik air, tanah, maupun kesejahteraan,” imbuhnya.

Sementara itu, wilayah tempat Bupati Sleman berasal juga memiliki pola unik yang sama kuatnya. 

“Banyak kalurahan menggunakan awalan ‘Sido’, seperti Sidorejo, Sidoagung, dan Sidomulyo. Kata ‘Sido’ bermakna ‘jadi’ atau ‘terwujud’, yang menunjukkan doa agar masyarakatnya mencapai kemakmuran,” sebutnya.

Menurutnya, ragam nama ini merupakan warisan dari proses penggabungan desa-desa pada tahun 1946. 

“Penggabungan itu dilakukan untuk memperkuat otonomi desa. Dengan demikian, aset-aset desa menjadi lebih banyak dan bernilai tinggi,” tambahnya. 

Meski begitu, ia menegaskan bahwa seluruh aset desa, termasuk tanah kas, tetap berada di bawah pengawasan Kasultanan Yogyakarta dan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

BACA JUGA : Kurikulum Gizi Bakal Jadi Wajib di Sekolah, Sleman Minta Libatkan Ahli Kesehatan

BACA JUGA : UKS Diberdayakan, Disdik Sleman Sebut Sekolah Siap Kawal Kualitas Program MBG

“Pemanfaatan tanah desa tidak bisa sembarangan. Karena tanah itu asalnya dari Kasultanan, maka jika desa ingin mengubah fungsi lahan, misalnya dari pertanian menjadi non-pertanian, wajib mendapatkan izin dari Gubernur DIY,” lanjutnya.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: