Kuda Lumping Polda DIY: Menjaga Jathilan agar Tak Punah
Seorang penari Kuda Lumping Polda DIY melakukan atraksi dramatis dengan gerakan cambuk dan kostum khas, sebagai wujud pelestarian budaya Jawa.--Foto: Kristiani Tandi Rani/diswayjogja.id
Beberapa penampil tampak kehilangan kesadaran, tubuh mereka bergerak liar namun tetap dalam kendali ritual.
Di leher salah seorang di antaranya, selendang merah terikat, sementara dari pinggir arena, beberapa penonton ikut memberi saweran sebagai bentuk penghormatan.
Tikar digelar sebagai batas sakral. Di sanalah antara dunia nyata dan magis seakan bertemu. Setiap detail memiliki makna, dari cambukan kuda, naga yang dipisahkan kepalanya, hingga bunga mawar ungu yang disantap.
Semua berpadu dalam satu narasi besar tentang keseimbangan, pengorbanan, dan kekuatan spiritual yang diwariskan turun-temurun.
Atraksi itu bukan sekadar tontonan. Ia adalah bahasa budaya yang disampaikan lewat tubuh, simbol, dan benda-benda ritual.
Sebuah pengingat bahwa tradisi masih hidup, bergerak, dan menyimpan pesan mendalam bagi generasi kini.
Pelatih atraksi Kuda Lumping Polda DIY, Aipda Nurdianto, menegaskan bahwa pertunjukan ini digelar sebagai bentuk pelestarian budaya.
“Kalau sebenarnya, maknanya ya untuk nguri-uri kebudayaan. Melestarikan budaya Jawa, khususnya jathilan. Kalau tidak dilestarikan, nanti bisa punah, tidak ada generasinya lagi,” ujarnya, Minggu (24/8/2025).
Ia menambahkan, meski identik dengan nuansa magis, jathilan pada dasarnya tetaplah hiburan rakyat.
“Filosofinya, ya sekadar hiburan saja, Mbak. Tapi ada ceritanya juga,” katanya.
Setiap penampilan, lanjutnya, biasanya disertai kisah yang berbeda. Pada pementasan kali ini, kelompoknya mengangkat cerita perjuangan Pangeran Diponegoro di Yogyakarta.
“Misalnya kemarin, kita ambil tema perjuangan Diponegoro di Jogja,” tuturnya.
Namun, Ia tak menampik bahwa masih ada tantangan teknis yang harus dibenahi dalam setiap penampilan.
“Cuma sound systemnya kemarin trouble, jadi kita tidak bisa maksimal. Hasil rekamannya pun jadi kurang bagus,” ucapnya.
Meski demikian, semangat untuk terus tampil tak pernah surut. Ia mengatakan, musik pengiring tetap mendominasi suasana dengan komposisi khas campursari dan lagu-lagu perjuangan.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber: