Untuk pagar menggunakan desain akulturasi antara Majapahit denah Mataram atau Kabupaten Gunungkidul sehingga digunakan material utama bata merah berbentuk arsitektur gaya Gunungkidul berupa Gapura Lar Badak.
Sedangkan konsep penataan fasad atau tampak muka rumah disesuaikan dengan pagar berupa Terakota dengan bata merah.
Pembangunan kawasan terpadu Padukuhan Wotawati ini membutuhkan waktu sedikitnya 3 tahun dengan menyesuaikan ketersediaan anggaran, artinya pengerjaan pada tahun kedua fokus pada fasad seluruh rumah yang berjumlah 79 rumah.
Kemudian di tahun ketiga memasuki tahap finishing mulai dari jalan, drainase, gazebo, gapura, tempat informasi wisata, dan lainnya.
"Kita pilih perpaduan gaya Majapahit dan Mataram karena sesuai cerita tutur dari sesepuh yang ada di Wotawati, masyarakat Wotawati dahulu merupakan pelarian dari Majapahit. Kemudian kita melihat arsitektur Majapahit untuk fasad. Intinya tetap menggunakan gaya Mataram Yogyakarta," ucap Estu.
Estu menyatakan tak hanya melihat penataan sebuah dusun dengan pagar, fasad yang unik dan estetik semata.
Di sini, wisatawan akan mendapatkan pengalaman yang tak terlupakan seperti bercocok tanam bersama warga masyarakat petani dan sebagainya. Uniknya lagi, semua dapur di Padukuhan Wotawati menghadap timur.