Kerusakan Ekosistem Hulu DAS Perparah Banjir Bandang Sumatra, Ini Penjelasan Pakar UGM
Pakar Hidrologi Hutan UGM, Hatma Suryatmojo, menegaskan bahwa bencana ini bukan hanya akibat hujan ekstrem dan Siklon Tropis Senyar, tetapi akumulasi kerusakan ekosistem hulu DAS akibat deforestasi dan alih fungsi lahan.--dok
YOGYAKARTA, diswayjogja.id - Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Aceh pada akhir November 2025 disebut sebagai salah satu yang terbesar dalam beberapa dekade terakhir.
Menurut Pakar Hidrologi Hutan dan Konservasi Daerah Aliran Sungai (DAS) Universitas Gadjah Mada (UGM), Hatma Suryatmojo, peristiwa ini bukan kejadian tunggal, melainkan akumulasi panjang kerusakan ekosistem hulu yang sudah berlangsung selama puluhan tahun.
Banjir bandang dahsyat yang terjadi usai hujan ekstrem berhari-hari itu merendam ratusan desa, memutus infrastruktur, dan menelan lebih dari 300 korban jiwa di tiga provinsi terdampak. BNPB mencatat hingga November 2025 terdapat 2.726 kejadian bencana hidrometeorologi, menunjukkan peningkatan yang konsisten dari tahun ke tahun.
“Cuaca ekstrem hanyalah pemicu. Daya rusak banjir bandang kali ini diperkuat kerusakan lingkungan yang sudah akut di hulu DAS,” ujar Hatma Suryatmojo dalam keterangannya, Senin (1/12/2025).
BACA JUGA : Banjir Besar Sumatera, Kemenkes Fokus Selamatkan Nyawa dan Antisipasi Wabah
BACA JUGA : Sedia Payung Sebelum Hujan, Bantul Aktifkan 18 Pos Darurat Hadapi Potensi Banjir dan Longsor
Dipicu Curah Hujan Ekstrem dan Siklon Tropis Senyar
BMKG menyebut beberapa wilayah di Sumatra Utara diguyur hujan lebih dari 300 mm per hari, dipengaruhi terbentuknya Siklon Tropis Senyar di Selat Malaka. Namun Hatma menegaskan, intensitas hujan bukan satu-satunya penyebab bencana.
Menurutnya, kawasan hulu DAS di Sumatra kehilangan fungsi ekologis karena deforestasi, illegal logging, dan alih fungsi lahan besar-besaran selama dua dekade terakhir.
“Hilangnya tutupan hutan berarti hilang pula fungsi intersepsi, infiltrasi, dan evapotranspirasi,” jelasnya. Ketika air hujan tak lagi diserap tanah, limpasan permukaan meningkat drastis dan mendorong terjadinya banjir bandang.
Hutan Hulu Rusak, Siklus Hidrologi Terputus
Dalam kondisi hutan tropis alami, tajuk hutan mampu menahan 15–35% air hujan lewat intersepsi. Permukaan tanah yang tidak terganggu dapat melakukan infiltrasi hingga 55%, sehingga hanya 10–20% air yang mengalir ke sungai sebagai limpasan. Proses evapotranspirasi juga bisa mencapai 40%.
BACA JUGA : Musim Hujan Mulai Intens, BPBD Yogyakarta Minta Warga Waspadai Banjir dan Pohon Tumbang
BACA JUGA : Proyek Drainase Rp4,18 Miliar Jalan Soepomo Dikebut, Warga Harap Tak Ada Lagi Banjir
“Tetapi ketika hutan rusak, ketiga fungsi itu hilang total,” tutur Hatma.
Akibatnya, lereng menjadi rapuh, mudah longsor, dan material longsoran menimbun sungai. Ketika terbentuk bendungan alami yang jebol akibat tekanan air, banjir bandang tak terhindarkan.
Deforestasi Masif di Aceh, Sumut, dan Sumbar
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber: