Kerusakan Ekosistem Hulu DAS Perparah Banjir Bandang Sumatra, Ini Penjelasan Pakar UGM

Kerusakan Ekosistem Hulu DAS Perparah Banjir Bandang Sumatra, Ini Penjelasan Pakar UGM

Pakar Hidrologi Hutan UGM, Hatma Suryatmojo, menegaskan bahwa bencana ini bukan hanya akibat hujan ekstrem dan Siklon Tropis Senyar, tetapi akumulasi kerusakan ekosistem hulu DAS akibat deforestasi dan alih fungsi lahan.--dok

Kerusakan hutan disebut Hatma semakin memperbesar risiko bencana:

Aceh kehilangan lebih dari 700 ribu ha hutan dalam periode 1990–2020.

Sumatra Utara hanya menyisakan 29% tutupan hutan pada 2020. Ekosistem Batang Toru terus terdegradasi oleh konsesi dan aktivitas tambang serta kebun.

BACA JUGA : Antisipasi Banjir, DPUPKP Kota Yogyakarta Tambah Sumur Resapan dan Normalisasi Sungai

BACA JUGA : Pemkot Yogyakarta Segera Benahi Saluran Air di Warungboto untuk Cegah Banjir

Sumatra Barat kehilangan total 740 ribu ha tutupan pohon sejak 2001–2024, dengan deforestasi mencapai 32 ribu ha hanya dalam satu tahun terakhir.

“Tragedi ini adalah akumulasi dosa ekologis di kawasan hulu yang dibiarkan terlalu lama,” tegasnya.

Sumatra Kini Ibarat “Bom Waktu” Bencana

Hatma menyebut kombinasi perubahan iklim, pembukaan hutan di pegunungan, serta sedimentasi sungai membuat wilayah Sumatra sangat rentan.

“Alam punya batas. Ketika ambang itu dilampaui oleh kerusakan lingkungan, bencana menjadi konsekuensi langsung,” ujarnya.

Ia menilai, tanpa pembenahan menyeluruh dari hulu ke hilir, setiap puncak musim hujan berpotensi membawa bencana besar berikutnya.

BACA JUGA : Pemkot Yogyakarta Segera Benahi Saluran Air di Warungboto untuk Cegah Banjir

BACA JUGA : Drainase Tersumbat, Jalan Nyi Condro Lukito Mlati Banjir dan Macet Panjang

Rekomendasi: Konservasi DAS dan Penegakan Tata Ruang

Hatma menekankan bahwa mitigasi bencana tak bisa hanya mengandalkan infrastruktur seperti tanggul dan normalisasi sungai.

“Pendekatan struktural penting, tetapi pendekatan ekologis jauh lebih mendesak,” katanya.

Rekomendasinya yakni perlindungan ketat hutan-hutan kritis seperti Leuser dan Batang Toru sebagai “harga mati”, rehabilitasi lahan kritis dan reforestasi masif di area tangkapan air, penegakan hukum terhadap illegal logging dan alih fungsi lahan di kawasan hulu.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber:

Berita Terkait