Herlambang Wiratraman, Akademisi dan Pers Harus Jadi Benteng Terakhir di Lorong Gelap Rezim
Herlambang Perdana Wiratraman saat menyampaikan pandangannya dalam diskusi publik, Jumat (7/11/2025) --Foto: Kristiani Tandi Rani/diswayjogja.id
SLEMAN, diswayjogja.id - Di tengah derasnya arus kebijakan yang dinilai mengikis ruang kebebasan publik, akademisi hukum Herlambang Perdana Wiratraman menyerukan pentingnya perlawanan berbasis pengetahuan dan nalar kritis.
Ia menegaskan bahwa dunia akademik dan pers memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga peradaban agar tidak terseret ke arah anti-intelektualisme dan kekuasaan yang membungkam.
Dalam sebuah diskusi publik yang dihadiri sejumlah aktivis dan mahasiswa, Herlambang, dosen Departemen Hukum Tata Negara Universitas Airlangga menyebut bahwa pola pemerintahan hari ini menunjukkan kecenderungan serupa, mengabaikan kritik publik dan terus melaju dengan agenda kebijakan yang kontroversial.
"Dalam soal UU Cipta Kerja (Omnibus Law), meski sudah diprotes tetap dijalankan. Revisi UU TNI juga tetap jalan. Jadi, realitas yang harus kita hadapi memang tidak memberi banyak pilihan," katanya, Jumat (7/11/2025).
Menurutnya, kondisi tersebut menegaskan bahwa demokrasi di Indonesia tengah berada di persimpangan jalan.
Kebebasan berpikir dan berekspresi, dua pilar utama kehidupan akademik dan jurnalisme, kini terancam oleh cara kerja negara yang menormalisasi pembungkaman lewat hukum dan narasi pembangunan.
BACA JUGA : Akademisi dan Aktivis HAM Yogyakarta Tolak Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto
BACA JUGA : Atasi Masalah Sampah, Mahasiswa UGM Ciptakan Wormy Box yang Bikin Cacing Jadi Pahlawan Lingkungan
“Satu, kita harus tetap membentengi kebebasan berekspresi, kebebasan menyampaikan pendapat, dan kebebasan berpikir secara kritis,” tegasnya.
Namun, ia menambahkan bahwa perlawanan terhadap situasi ini tidak cukup hanya dengan protes politik.
Ia menekankan bahwa komunitas akademik harus berani membawa sains dan rasionalitas kembali ke ruang publik, menempatkan pengetahuan sebagai dasar kebijakan dan panduan moral bangsa.
"Kita tahu bahwa peradaban dituntun oleh sains. Maka sebagai komunitas akademik, pilihan kita tidak banyak. Bagi dosen, ya tetap harus membawa pesan sains ke ruang publik sebagai dasar kebijakan. Sama halnya dengan pers, membawa pesan kebebasan pers ke ruang publik," pungkasnya.
Ia pun menyerukan pentingnya mempertahankan ruang kebebasan akademik dan kebebasan pers di tengah situasi politik yang kian menekan.
Ia menilai, dua hal itu kini menjadi benteng terakhir dalam menghadapi arah kekuasaan yang semakin menormalisasi impunitas dan represi, termasuk dalam wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber: