Herlambang Wiratraman, Akademisi dan Pers Harus Jadi Benteng Terakhir di Lorong Gelap Rezim

Herlambang Wiratraman, Akademisi dan Pers Harus Jadi Benteng Terakhir di Lorong Gelap Rezim

Herlambang Perdana Wiratraman saat menyampaikan pandangannya dalam diskusi publik, Jumat (7/11/2025) --Foto: Kristiani Tandi Rani/diswayjogja.id

BACA JUGA : IDME 2025 Sleman: Rawat Semangat Pahlawan, Bangun Pertahanan Bangsa dari Rakyat untuk Rakyat

BACA JUGA : HUT ke-80 RI Polresta Sleman: AKBP Sutikno Ajak Anggota Hidupkan Semangat Pahlawan

“Benteng kebebasan akademik dan kebebasan pers itu... ya, mungkin hanya sampai di situ batas yang bisa kita lakukan, di tengah lorong gelap rezim seperti sekarang ini,” ujarnya. 

Menurutnya, pemberian gelar tersebut bukan hanya soal simbol sejarah, tetapi juga menyangkut tanggung jawab negara terhadap pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu. 

Ia menilai, penghargaan kepada Soeharto akan memperparah hilangnya akuntabilitas atas berbagai pelanggaran berat yang terjadi di bawah kekuasaannya.

“Hukuman yang saya pahami ini akan menyulitkan pertanggungjawaban atas kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, terutama di masa Soeharo. Jelas itu kasus 65–66, kasus Petrus, Tanjung Priok, kasus-kasus yang terjadi di masa Soeharto berkuasa," jelasnya. 

Lebih jauh, ia menyoroti bahwa represi terhadap pers di masa Orde Baru sering kali dilakukan atas nama ideologi negara. 

Ironisnya, praktik serupa mulai tampak kembali di masa kini melalui narasi yang menuntut pers untuk “taat” terhadap nilai-nilai tertentu.

BACA JUGA : Mahasiswa UGM di Kursi Terdakwa, Vonis 1 Tahun 2 Bulan untuk Pengemudi BMW dalam Kecelakaan Maut

BACA JUGA : UGM Kembangkan Gamagora 7, Padi Unggul Tahan Cuaca Ekstrem dan Kaya Gizi

“Masuk ke kasus pers, ya emangnya pers itu nggak ada hubungannya dengan ‘suara doa adalah pers Pancasila’? Justru waktu itu represi dilakukan menggunakan nama Pancasila, tapi untuk merepresi pers. Sama saja dengan kondisi seperti sekarang,” imbuhnya.

Ia menilai situasi ini sebagai bentuk kemunduran politik yang serius. 

Jika pada 1998 masyarakat berjuang keras menumbangkan rezim otoriter, kini publik justru dihadapkan pada upaya memuliakan figur yang pernah menjadi simbol pengekangan demokrasi.

“Secara politik ini kan menjadi contested, ya. Maksud saya begini, dulu waktu ’98 ada gerakan besar menumbangkan Soeharto. Sekarang kita justru terbentur ketika membicarakan Soeharto sebagai pahlawan," sebutnya. 

Pernyataannya menjadi pengingat bahwa sejarah tidak pernah benar-benar usai. 

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber:

Berita Terkait