Kasus Keracunan Program MBG Target Terlalu Cepat, Pengawasan Terbengkalai

Kasus Keracunan Program MBG Target Terlalu Cepat, Pengawasan Terbengkalai

Siswa sedang menerima makanan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) di sekolah, sementara pengawasan pengolahan makanan tetap menjadi perhatian utama.--Foto: HO (IST)

BANTUL, diswayjogja.id - Kasus keracunan pada program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali meningkat, menimbulkan keprihatinan masyarakat hingga kalangan akademisi. 

Ribuan siswa dilaporkan mengalami gangguan kesehatan sejak peluncuran program pada Januari 2025, termasuk di Baubau, Banggai, dan Garut. 

Alih-alih meningkatkan status gizi, program yang menargetkan 80 juta siswa pada tahun pertama ini justru memunculkan pertanyaan serius mengenai kesiapan pengelolanya.

“Akar persoalan terletak pada lemahnya pengawasan dan besarnya target yang ingin dicapai dalam waktu yang singkat,” kata Prof. Dr. Ir. Sri Raharjo, M.Sc., Guru Besar Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian UGM.

Menurutnya, pendekatan pemerintah yang disebutnya too much too soon berisiko besar. 

“Membangun 30 ribu unit dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) membutuhkan biaya, tenaga, dan sistem yang tidak kecil. Pemerintah seharusnya fokus pada kualitas dan keamanan pangan yang menjamin keamanan setiap porsi,” ucapnya.

BACA JUGA : Ibu Hamil Ikut Aksi Damai Tabuh Panci, Curhat Tak Mau Anaknya Jadi Korban MBG

BACA JUGA : Aksi Tabuh Panci di UGM, Suara Ibu Indonesia Tuntut Hentikan Program MBG

Kasus keracunan yang berulang juga diduga terkait dengan fungsi pengawasan yang tidak berjalan optimal. 

“Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai lembaga baru dinilai belum memiliki cukup sumber daya manusia, sementara SPPG juga belum siap secara menyeluruh,” jelasnya.

Lebih lanjut, dia menekankan pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap program MBG. 

“Jika pemerintah ingin memastikan keberhasilan MBG, evaluasi dan pendataan kondisi gizi siswa pada awal dan akhir tahun pertama pelaksanaan menjadi hal yang sangat penting,” tuturnya.

Meski jumlah SPPG  terus bertambah untuk menjangkau lebih banyak siswa, pengawasan yang lemah tetap menjadi persoalan utama.

“Jika siswa yang ditargetkan semakin banyak, jumlah SPPG juga semakin banyak, tetapi pengawasannya tetap lemah. Hal ini relevan dengan kasus keracunan yang meningkat,” jelasnya. 

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber:

Berita Terkait