Bertahun Membangunkan Ratusan Hektar Lahan Tidur di Gunungkidul, Begini Kisah Suswaningsih

Bertahun Membangunkan Ratusan Hektar Lahan Tidur di Gunungkidul, Begini Kisah Suswaningsih

Kisah Suswaningsih, bertahun membangunkan ratusan hektar lahan tidur di Gunungkidul-jogjapolitan.harianjogja.com-

Mengajak petani berkumpul tidak selalu mudah. Mereka cenderung ingin mendapatkan manfaat jangka pendek misal hendak berkumpul atau sejenisnya. Sementara untuk penyuluhan atau pelatihan, dampaknya tidak langsung terasa.

Meski pertemuan dengan petani tidak selalu ramai, Suswaningsih tetap rutin menggelarnya. Dia bahkan tidak jarang memberikan penyuluhan di luar jam kerja. Malam hari ibarat jam kerja yang akrab dengan perempuan berusia 55 tahun tersebut.

Di samping pendampingan dari suami yang rutin mengantar, Suswaningsih melakukan semua ini atas dasar cintanya pada lingkungan, gairah yang sudah dia rasakan semenjak kecil. 

BACA JUGA : Kisah Sukses Marlan Nelayan Depok, Parangtritis, Bantul yang Menjadi Pengusaha Rumah Makan Seafood

BACA JUGA : Mantan Satpam di Sanden Bantul Sukses Setelah Budidaya Cacing Sutera dengan Nilai Besar

Semakin sering berhubungan dengan petani, membuat Suswaningsih semakin banyak belajar cara masuk yang tepat. Salah satunya dengan terlebih dahulu mencontohkan, agar petani paham manfaat nyatanya.

Ada demonstration plot (demplot). Petani melihat, mereka tertarik, kemudian ikut melakoni. Kabar ini yang kemudian hari semakin menyebar, tentang manfaat menerapkan sistem pertanian modern. Seiring berjalannya waktu, lereng-lereng perbukitan kemudian beralih fungsi.

Situasi itu mulai berubah. Suswaningsih mengajak petani untuk mengelola dan mengolah lereng itu menjadi lahan pertanian. “Kami kumpulkan batu-batu di lereng dan kami buat terasering, lalu tanahnya kami kumpulkan jadi satu. Di situlah kami tanam tanaman pangan seperti jagung dan ubi kayu,” kata Suswaningsih yang kini menjadi Koordinator Balai Penyuluh Pertanian (BPP) Rongkop.

Lebih Modern

Secara berangsur, sistem pertanian di Rongkop berubah. Setelah memanfaatkan lahan diperbukitan, Suswaningsih mendampingi petani dari mulai pembibitan hingga pemupukan.

BACA JUGA : Petani Milenial di Sleman Sukses Manfaatkan Teknologi Modern, Pemkab Berikan Apresiasi

BACA JUGA : Petani Keluhkan Jalan Antar Desa Rusak, Baront Grup Inisiatif Swadaya Tambal Jalan Berlubang Songgom

Dari sisi pembibitan misalnya, ongkos produksi bisa lebih murah. Dahulu, satu hektar perlu 50 kilogram (kg) benih padi. Saat ini, dengan luas yang sama, hanya perlu 24 kg benih saja.

Begitu pula sektor pemupukan. “Dulu itu tanah juga pecah-pecah. Tanaman gampang kering hanya beberapa pekan setelah tidak ada hujan. Itu karena petani dulu over penggunaan pupuk kimia,” katanya.

Misalnya untuk lahan 1.000 meter persegi, petani menggunakan pupuk urea lebih dari 100 kg. sekarang para petani hanya menggunakan 275 kg untuk 10.000 meter persegi.

Pengolahan tanah juga sangat mengandalkan pupuk organik, utamanya dari kotoran hewan (kohe). Kohe dianggap efektif menggemburkan tanah. Efek lanjutannya, setiap petani di Rongkop kebanyakan juga memiliki ternak.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: harianjogja.com