Pojok Bulaksumur Mengupas Tuntas Agenda Seminar Lustrum XV dan Dies Natalis ke-75 UGM

Pojok Bulaksumur Mengupas Tuntas Agenda Seminar Lustrum XV dan Dies Natalis ke-75 UGM

Pojok Bulaksumur mengupas tuntas agenda Lustrum XV dan Dies Natalis ke-75 UGM-jogjapolitan.harianjogja.com-

“Memang erat kaitan dengan itu adalah banyak pengalaman mengelola konflik, menyelesaikan konflik dengan berbagai trek. Trek dari sisi pemerintah atau level negara, kemudian trek masyarakat sipil dan inisiatif-inisiatif yang lain,” ucap dia.

“Kita punya pengalaman yang cukup banyak bahwa pengalaman konflik di antaranya soal identitas, pengalaman konflik kelompok-kelompok masyarakat yang berdimensi struktural, itu banyak sekali yang telah diselesaikan,” imbuhnya.

Arie juga berpandangan masa depan demokrasi adalah kemampuan masyarakat untuk bisa melacak ulang hal-hal yang spesifik atau yang disebut dengan pengalaman-pengalaman baik dalam berbagai bidang untuk membantu masyarakat ke depannya.

“Seminar ini sebetulnya mau punya maksud untuk itu bagaimana kita belajar dari pengelolaan konflik, resolusi damai dan intervensi apa yang selama ini dianggap ampuh dan masyarakat publik internasional pun bisa belajar dari Indonesia. Termasuk apakah resolusi konflik itu hanya berbasis dan bertumbuh pada kekuatan masyarakat sipil saja,” tegasnya.

BACA JUGA : REI DIY Sebut Kenaikan PPN 12% Bisa Membuat Penjualan Properti Lesu

BACA JUGA : Begini Kisah Riski Usada yang Membuka Jasa Penitipan Barang di Jogja Bernama Kost Box

Kurikulum

Peniliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian Universitas Gadjah Mada, Erich Kaunang berharap resolusi konflik dan perdamaian bisa masuk dalam kurikulum pelajaran.

Hal itu tidak terlepas dari konflik-konflik yang mungkin sudah dialami pada usia pelajar atau yang terjadi di lingkungan sekolah. “Harapannya kurikulu, perdamaian ini kemudian bisa difasilitasi dalam kurikulum nasional,” ujarnya.

Erich mencontohkan bagaimana konflik yang muncul dari aksi perundungan yang selama ini penyelesaiannya terkesan sangat formalistik dan seakan belum menjadi perhatian serius.

“Penyelesaiannya sangat formalistik. Belum sampai ke akar. Anak perlu dibekali pengetahuan dan keterampilan tentang bagaimana mereka bisa menangani konflik yang terjadi pada level sekolah maupun lingkungan,” tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: harianjogja.com