Gelar Haji Ternyata Bukan dari Arab, Tapi Bikinan Belanda, Lho Kok Bisa?

Gelar Haji Ternyata Bukan dari Arab, Tapi Bikinan Belanda, Lho Kok Bisa?

Jamaah haji Indonesia jaman pemerintah kolonial Belanda. -kitlv leiden-

Belanda bingung kenapa setiap pemberontakan selalu melibatkan pribumi yang baru pulang dari tanah suci Mekkah. Menurut sejarawan Agus Sunyoto, tidak ada pemberontakan yang tidak melibatkan haji, terutama kiai haji dari pesantren.

Ketika di Mekkah, para tokoh tersebut tentu berinteraksi dengan sesama muslim sedunia dan membawa pemikiran dan gerakan melawan kolonialisme.

Bahkan dalam Ordonansi Haji tahun 1825, Pemerintah Hindia Belanda sampai membatasi jumlah umat Islam Nusantara yang ingin berangkat haji ke Mekkah. Tentu tujuannya tak lain agar tidak semakin banyak pemberontakan.

Pemerintah Belanda Beri Label Haji

Begitu besarnya peran pemuka agama yang baru pulang haji dari Mekkah dengan membawa gerakan perlawanan, membuat Belanda mencari cara khusus untuk mengawasi mereka.

Salah satunya adalah dengan memberi label atau gelar “haji” di depan tokoh-tokoh tersebut. Tujuannya agar Belanda mudah untuk melakukan pengawasan.

Belanda juga memberlakukan ujian haji. Mereka harus membuktikan kebenaran jika mereka benar-benar sudah berhaji dan mengunjungi Mekkah.

Jika lulus, mereka berhak menyandang gelar gaji dan wajib memakai pakaian khusus haji, yaitu jubah, sorban putih atau kopiah putih.

Begitu terjadi pemberontakan di suatu daerah, pemerintah Belanda akan dengan mudah memetakan dan menangkap tokoh-tokoh haji tersebut.

Pada tahun 1916, penjajah Belanda mengeluarkan keputusan Ordonansi Haji, yaitu setiap orang yang pulang dari haji wajib menggunakan gelar haji.

Tujuannya agar intelejen Belanda gampang mengawasi. Karena itulah sejak tahun 1916 setiap orang Indonesia yang pulang dari ibadah haji di Mekkah akan mendapatkan gelar haji. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: