Keraton Yogyakarta Dorong Generasi Muda Hiasi Media Sosial dengan Budaya Nusantara

Keraton Yogyakarta Dorong Generasi Muda Hiasi Media Sosial dengan Budaya Nusantara

Dalam Seminar Jejak Peradaban bertema Resiliensi Budaya pada Era Disrupsi di Kulon Progo, GKR Bendara, Sabtu (6/12/2025), menegaskan pentingnya informasi budaya yang akurat dan transformasi naratif agar warisan budaya tetap relevan di era digital.--Foto: Anam AK/diswayjogja.id

“Pelestarian itu bukan hanya soal konservasi fisik dan virtual. Yang jauh lebih penting adalah transformasi naratif agar budaya kita relevan bagi generasi digital,” jelasnya.

GKR Bendara menekankan bahwa ruang digital harus menjadi panggung baru bagi budaya Nusantara. Ia mengajak generasi muda untuk menjadi agen pelestarian yang aktif.

BACA JUGA : Numplak Wajik Keraton Yogyakarta, Warisan Syukur yang Hidup

BACA JUGA : Keraton Yogyakarta Gelar Grebeg Mulud, Gunungan Brama Dikeluarkan Khusus Tahun Dal

“Kita serahkan kepada Gen Milenial dan Gen Z untuk menghiasi ruang digital dengan budaya yang mereka butuhkan. Informasi adalah kunci,” tuturnya.

Di masa modern saat ini, transformasi simbol-simbol budaya juga terjadi lebih cepat. “Bahkan simbol keraton pernah berubah lebih dari lima kali di era milenial, hingga menjadi apa yang kita kenal sekarang sebagai Projokino atau Kumu,” tambahnya.

Transformasi itu juga mendorong ekonomi masyarakat melalui UMKM yang kini memproduksi banyak motif, bentuk, atau produk yang dulunya hanya ada di lingkungan Keraton.

Seminar Jejak Peradaban tahun ini membahas empat topik warisan budaya, di antaranya Jamu dan Jampi, Budaya Visual, Perak dan Perhiasan, serta Jamuan ala Rijsttafel.

BACA JUGA : Sri Sultan HB X Datangi Balai Kota, Bahas Malioboro dan Perbaikan Jembatan Kewek Rp19 Miliar

BACA JUGA : Sri Sultan Ajak Daerah Manfaatkan Obligasi untuk Dorong Pertumbuhan Ekonomi

Keempatnya dihadirkan kembali dalam konteks bagaimana budaya dapat bertahan melalui strategi adaptasi, inovasi kemasan, dan relevansi publik.

GKR Bendara berharap seminar tahun ini mampu melahirkan rekomendasi operasional yang menjadi landasan pelestarian budaya yang adaptif namun tetap sensitif secara kultural.

“Seminar ini saya harap memberi pemahaman baru, bahwa banyak hal di sekitar kita ternyata berasal dari Keraton, dan sekarang dapat dinikmati secara luas,” tandasnya.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber:

Berita Terkait