Menurutnya, pembangunan yang berkelanjutan menuntut keterlibatan aktif berbagai pihak, mulai dari masyarakat, akademisi, hingga dunia usaha.
Sinergi antar pemangku kepentingan dinilai penting agar kebijakan yang diambil mampu menjawab persoalan riil di lapangan.
“Pembangunan tidak bisa dilakukan oleh pemerintah saja, tetapi harus melibatkan masyarakat, akademisi, dunia usaha, dan seluruh pemangku kepentingan,” ujarnya.
Ia juga menekankan bahwa hasil dari program reviu tidak boleh berhenti sebagai dokumen administratif semata.
BACA JUGA : Sleman Tekan Risiko Stunting, Air Bersih dan Lingkungan Jadi Fokus Utama
BACA JUGA : Tradisi Mitoni Jadi Inovasi Budaya untuk Cegah Stunting di Kota Yogyakarta
Menurutnya, evaluasi yang dilakukan harus ditindaklanjuti dengan langkah konkret untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dan efektivitas program pembangunan.
“Perbaikan berkelanjutan harus menjadi keunggulan kita, sehingga hasil program review tidak berhenti sebagai laporan, tetapi benar-benar ditindaklanjuti dengan langkah nyata,” jelasnya.
Dalam sambutannya, ia turut mengingatkan bahwa esensi pembangunan terletak pada partisipasi masyarakat.
Ia menilai kemajuan Bantul merupakan cerminan dari kekuatan gotong royong warganya, bukan hanya hasil kerja birokrasi.
"Pembangunan bukan hanya tentang apa yang dilakukan pemerintah, tetapi tentang bagaimana masyarakat ikut bergerak bersama, karena sejatinya kemajuan Bantul adalah cerminan dari semangat gotong royong warganya,” imbuhnya.
BACA JUGA : Sleman Waspada Stunting, Asap Rokok dan Kekurangan Gizi Jadi Ancaman Anak Sejak Dini
BACA JUGA : Dinkes Sleman Turunkan Angka Stunting Jadi 4,2%, Ternyata Ini Rahasianya
Lebih lanjut, ia mengaitkan arah pembangunan Bantul dengan filosofi Jawa Hamemayu Hayuning Bawana yakni menjaga keindahan dan kesejahteraan dunia.
Nilai tersebut, menurutnya, mengajarkan pentingnya harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan dalam setiap proses pembangunan.
Ia berharap program reviu dapat menjadi budaya kerja yang melekat di lingkungan Pemkab Bantul.