“Waktu pandemi, permintaan ISBN dari Indonesia melebihi kuota global. Tapi ironisnya, minat baca kita tetap rendah. Itu kan lucu ya,” tuturnya.
Ia melihat fenomena tersebut sebagai bentuk ironi literasi nasional. Banyaknya penerbitan tidak diimbangi dengan meningkatnya pembaca aktif.
“Sebelum mengirim, teman-teman harus cek dulu. Ini benar dari lembaga mana? Siapa yang menyelenggarakan? Jangan sampai kirim ke yang tidak bertanggung jawab,” sebutnya.
Selain itu, ia menyoroti praktik penerbit yang bahkan tidak memberikan informasi apapun kecuali diminta oleh penulis.
BACA JUGA : Paduan Suara Swara Wadhana UNY Tampil di Taiwan, Borong Tiga Penghargaan Internasional
BACA JUGA : Uang Rp50 Juta di MI Bina Umat Sleman Digasak Maling, Polisi Buru Pelaku
Ketidaktransparanan ini bisa merugikan secara ekonomi maupun reputasi penulis.
“Satu itu bahkan tidak dikasih tahu kalau tidak diminta. Nggak ada pemberitahuan soal cover-nya akan naik atau seperti apa. Buku ini akan dijual berapa, penulisnya bahkan nggak tahu,” imbuhnya.
“Mereka bikin hukuman buat dirinya sendiri sebenarnya. Tapi dampaknya ya ke penulis juga,” tandasnya.
Diskusi yang digelar di Festival Sastra Yogyakarta (FSY) ini juga menghadirkan narasumber lain seperti Evi Idawati, Ratun Untoro, dan Latief S. Nugraha.
Keempatnya menyuarakan keresahan sekaligus harapan terhadap masa depan literasi dan penerbitan di tengah tantangan digitalisasi yang semakin cepat.