Muhammad Qadhafi: Komunitas Sastra Jangan Cuma Nulis, Tapi Bikin Dampak
YOGYAKARTA, diswayjogja.id — Komunitas sastra tidak boleh berhenti hanya sebagai ruang menulis dan memproduksi karya.
Lebih dari itu, komunitas harus menjadi wadah apresiasi, transformasi, dan jembatan yang menghidupkan sastra dalam kehidupan sehari-hari.
Hal itu ditegaskan pengarang Suku Sastra Muhammad Qadhafi dalam Diskusi Panel “Susur Galur V” yang menjadi bagian dari Festival Sastra Yogyakarta (FSY) 2025, Senin (4/8/2025), di Embung Giwangan Yogyakarta.
Diskusi ini mengangkat tema “Regenerasi”, membahas arah gerak sastra Indonesia di tengah perubahan sosial dan teknologi.
BACA JUGA : Banjir Buku tapi Literasi Rendah, Muhammad Qadhafi Soroti Penerbit Abal-Abal dan Kuota ISBN
BACA JUGA : Nabil Anak 10 Tahun Tampil di Festival Sastra Yogyakarta Bawakan Puisi Sapardi
Ia menyoroti bahwa keberadaan komunitas sastra saat ini belum sepenuhnya menjawab tantangan regenerasi jika hanya terbatas pada produksi teks. Komunitas perlu menjadi arena luas bagi kegiatan literasi kreatif yang beragam.
“Jadi tidak hanya komunitas sastra itu yang menulis karya sastra saja atau memproduksi karya sastra saja, tapi juga melibatkan sifat apresiasi,” katanya.
Menurutnya, kegiatan apresiasi seperti diskusi karya, kritik sastra, pementasan, hingga pengalihan medium menjadi musik merupakan bentuk konkret yang patut didorong.
“Misalkan mengkritik, itu adalah sifat apresiasi. Mementaskan, mengalihkan menjadi musik, itu semua bagian dari upaya memperluas jangkauan sastra,” ucapnya.
BACA JUGA : Digelar Tiga Hari di Kota Yogyakarta, Kompetisi Bahasa dan Sastra 2025 Diikuti 186 Peserta
BACA JUGA : Tingkatkan Ekosistem Sastra, Pemkot Jogja dan Dinas Kebudayaan Gelar FSY 2024
Ia mengajak peserta diskusi untuk tidak menutup diri pada bentuk komunitas sastra yang selama ini dianggap mapan.
Justru, kata dia, keberagaman bentuk dan metode menjadi kekuatan tersendiri bagi regenerasi sastra Indonesia.
“Komunitas-komunitas yang memiliki kegiatan sastra, baik yang mengkreasi maupun mengapresiasi, itu berusaha untuk kami rangkul juga,” tuturnya.
Muhammad Qadhafi menambahkan bahwa membangun komunitas bukan soal mengikuti tren, tapi menciptakan ruang belajar bersama yang inklusif dan membumi.
“Kalau itu belum ada, kita mulai bareng-bareng. Jadi tidak hanya menjadi sebuah komunitas, tapi bagaimana caranya biar syukur-syukur bisa berdampak bagi komunitas,” ujarnya.
BACA JUGA : Banjir Buku tapi Literasi Rendah, Muhammad Qadhafi Soroti Penerbit Abal-Abal dan Kuota ISBN
BACA JUGA : Paduan Suara Swara Wadhana UNY Tampil di Taiwan, Borong Tiga Penghargaan Internasional
Diskusi berlangsung dengan antusiasme tinggi, terutama dari kalangan muda yang hadir dalam sesi tersebut.
Para peserta mencatat gagasan penting tentang keberlanjutan komunitas yang tidak hanya berisi para pencipta, tetapi juga para penggerak dan penikmat sastra.
Festival Sastra Yogyakarta (FSY) 2025 sendiri menjadi ajang pertemuan lintas generasi pegiat literasi dari berbagai kota.
Program Susur Galur merupakan bagian dari rangkaian yang mendorong pembacaan ulang terhadap proses pewarisan nilai sastra dalam ruang komunitas.
Gagasan Qadhafi sejalan dengan arah pengembangan literasi nasional yang tidak hanya berbasis sekolah atau lembaga formal, tetapi juga tumbuh dari inisiatif komunitas akar rumput.
BACA JUGA : Uang Rp50 Juta di MI Bina Umat Sleman Digasak Maling, Polisi Buru Pelaku
BACA JUGA : 7 Inspirasi Gaya Hits OOTD Wanita Tomboy Pakai Celana Pendek, Cek Disini
Dalam konteks ini, komunitas sastra menjadi simpul penting dalam membangun budaya baca, kritik, dan ekspresi.
Melalui pendekatan kolaboratif, komunitas sastra diharapkan mampu menjembatani jurang antara karya dan publik, serta memperluas medan apresiasi yang selama ini terpinggirkan.
Di tengah disrupsi digital, gerakan komunitas dapat menjadi garda depan menjaga keberlanjutan literasi dan jati diri kebudayaan.
Diskusi ini jang juga menghadirkan Evi Idawati, Ratun Untoro, dan Latief S. Nugraha sebagai pemateri.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber: