“Sekarang sudah hampir 100 tahun tapi prosesnya sepertinya mundur sekali. Tidak ada partisipasi publik, PKL tidak dilibatkan dalam proses perencanaan. Ini penting untuk menjadi catatan bersama. Apakah memindahkan PKL hanya memindahkan fisik dan membangun bangunan? Saya pikir tidak karena kita bicara tentang ruang ekonomi,” tuturnya.
Sementara itu, aktivis jaringan masyarakat, Elanto Wijoyono, mengatakan PKL tak bisa dilepaskan dari kegiatan ruang publik. Otoritas terkait dinilai harus bisa memahami karakter tersebut.
BACA JUGA : Ribuan Orang Padati Malioboro saat Libur Natal, 7 Wisatawan Terpisah dari Rombongan
BACA JUGA : Ruas Jalan Padat, Alur Lalu Lintas ke Jalan Malioboro Dilakukan Sistem Buka Tutup
"Singapura ruang publiknya berbeda, apalagi di Asia Tenggara. Ada kegagalan pemahaman dari pemda dan pemkot untuk menujukkan ruang yang dikelola seperti apa. Kalau pemerintah gagal, itu akan menindas masyarakat," ujarnya.
Pelestarian entitas budaya dan warisan budaya ini dinilai sengaja digunakan sebagai alat oleh otoritas Jogja, untuk menjustifikasi langkah kebijakan.
"Ada tidak ada status heritage, proses tetep jalan. Walaupun tidak ditetapkan, mereka akan tetap mengerjaan projek itu biar diakui. Nominasi itu di dunia (negara lain) bahkan berpuluh-puluh tahun. Jogja ini cepat, lima tahunan," pungkasnya.