Mekanisme seperti ini dinilai tidak adil dan tidak tumbuh rasa tanggung jawab dari masyarakat untuk mengelola sampah.
Haryoko menjelaskan lewat kebijakan ini, DLH Jogja ingin mengedukasi masyarakat untuk benar-benar bisa memilah dan mengolah sampahnya masing-masing.
Semakin banyak sampah, maka akan semakin banyak juga iuran sampah yang dibayarkan. Selain itu, besaran iuran untuk sampah juga berbeda dengan yang sudah dipilah dan belum dipilah.
“Masyarakat kita paksa untuk bisa mengolah sampahnya, semaksimal mungkin. Baru nanti yang tidak bisa dimanfaatkan dan harus dibuang itu hanya sedikit sekali, yang harus dibayar oleh masyarakat sedikit uangnya. Itulah yang kita berikan ke masyarakat terkait dengan edukasi bagaimana mempertanggungjawabkan atas sampah yang dihasilkannya,” ungkapnya.
BACA JUGA : UGM Gelar Summer Course 2024 di Kulon Progo, Perkuat Ketahanan Kesehatan Iklim
BACA JUGA : Bapemperda DPRD Bantul Targertkan Raperda dan Aturan Penjualan Online Ditetapkan di Triwulan Pertama 2025
Terkait dengan besaran retribusi sampah, Haryoko mengaku belum bisa menyampaikan secara detail dan memastikannya itu masih menjadi bagian dari kajian.
Uji coba berupa penimbangan sampah ini juga menjadi bagian dari sosialisasi kepada masyarakat sekitar.
“Kita juga ingin mengetahui seberapa besar volume sampah di masing-masing depo yang kita uji cobakan itu. Jadi nanti kita bisa menghitung bukan hanya sekadar koefisien dari harga, tapi juga menghitung volume sampah di lokasi itu yang dikumpulkan beberapa untuk bisa kita menghitung sekaligus di tingkat hilirnya untuk pemusnahan sampahnya,” ucapnya.