Buruh DIY Semakin Terhimpit: Upah Tidak Mencukupi, Kebijakan Tentang Pajak Jadi Sorotan
Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DIY saat menggelar aksi sekaligus menyerukan penetapan UMP DIY 2025-jogja.tribunnews.com-
JOGJA, diswayjogja.id - Kondisi pengupahan pekerja di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) kembali menjadi sorotan.
Berdasarkan survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang dilakukan Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DIY pada Oktober 2024, tercatat bahwa upah pekerja/buruh saat ini masih jauh dari mencukupi untuk menutupi kebutuhan sehari-hari.
Koordinator MPBI DIY, Irsad Ade Irawan, mengungkapkan bahwa kondisi perekonomian pekerja/buruh berada dalam posisi defisit ekonomi.
“Upah minimum provinsi (UMP) dan Upah minimum sektoral (UMS) yang baru ditetapkan untuk tahun 2025 masih lebih rendah dari KHL tahun 2024, yaitu di kisaran Rp3,7 juta hingga Rp4 juta. Dengan situasi ini, buruh harus menghadapi kenyataan bahwa pengeluaran mereka lebih besar dibandingkan pendapatan,” ujarnya.
BACA JUGA : Serikat Buruh Yogyakarta Tuntut Gubernur DIY Naikkan UMK Sebesar Rp4 Juta
Situasi ini diprediksi akan semakin memburuk dengan kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang mulai berlaku pada tahun depan.
Menurut Irsad, kenaikan PPN akan berimbas langsung pada kenaikan harga barang dan jasa, yang pada akhirnya menekan daya beli keluarga buruh.
“Buruh akan cenderung menahan pengeluaran jika harga barang naik. Hal ini bisa menurunkan permintaan barang dan jasa, sehingga berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek,” tambahnya.
Pemerintah telah mengumumkan kebijakan pembebasan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 untuk pekerja di sektor padat karya dengan gaji maksimal Rp 10 juta per bulan, yang berlaku mulai 1 Januari 2025.
BACA JUGA : Buruh DIY Tolak Kenaikan PPN 12% Per 1 Januari 2025 Mendatang, Ini Alasannya
BACA JUGA : SPN Tolak Tapera, Ratusan Buruh Geruduk Gedung DPRD Brebes
Meskipun kebijakan ini dipandang positif, Irsad menilai langkah tersebut diskriminatif karena tidak mencakup semua pekerja di berbagai sektor.
“Seharusnya pembebasan PPh diterapkan untuk semua pekerja/buruh, bukan hanya sektor padat karya. Kebijakan yang diskriminatif ini dapat menimbulkan ketimpangan dan rasa ketidakadilan di antara pekerja sektor lain yang juga mengalami tekanan ekonomi serupa,” tegasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: jogja.tribunnews.com