Kraton Yogyakarta Kenalkan Upacara Adat dalam Simposium Internasional
Gusti Hayu--
SLEMAN, DISWAYJOGJA - Kraton Yogyakarta kembali menggelar International Symposium on Javanese Culture atau Simposium Internasional Budaya Jawa. Kegiatan bertajuk 'Traditional Ceremonies in the Sultanate of Yogyakarta ' atau Upacara Adat di Keraton Yogyakarta diadakan di The Kasultanan Ballroom Royal Ambarrukmo Yogyakarta, Sabtu hingga Minggu, 9-10 Maret 2024.
Tema tersebut dipilih untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman upacara adat yang berlaku di Kraton Yogyakarta. Kegiatan rutin itu merupakan salah satu agenda peringatan Ulang Tahun Ke-35 Kenaikan Takhta atau Tingalan Jumenengan Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono X dan GKR Hemas dalam tahun masehi yang diperingati setiap 7 Maret. Tema simposium selaras dengan pameran temporer awal tahun yang digelar Kawedanan Hageng Punakawan (KHP) Nityabudaya yaitu upacara adat.
BACA JUGA:Tari Beksan Trunajaya Epic, Meriahkan Pembukaan Pameran Abhimantrana
Penghageng Kawedanan Tandha Yekti sekaligus Ketua Panitia GKR Hayu mengatakan, dua ratus tahun lebih keraton berdiri, dinamika sosial sampai lompatan masa transisi pra dan pasca kemerdekaan Indonesia telah membuat banyak perubahan kebijakan. Selain itu, berdampak pada penyelenggaraan upacara adat di keraton.
Beragam penyesuaian dan penyederhanaan dilakukan, tapi esensi upacara masih terus dijaga hingga kini. Ritual dan hiruk pikuk upacara adat juga perlahan menjadi rujukan wisata.
”Secara umum, pelaksanaan adat di keraton berlaku secara turun temurun, mengandung beragam nilai filosofis dan bersumber dari kearifan lokal. Setiap tahapan menuntun nilai kesadaran dan kebersamaan antara keraton hingga masyarakat. Semua bermuara pada Hamemayu Hayuning Bawono, memperindah keindahan dunia yang mewujudkan ikatan relasi, komunikasi dan harmoni kepada Sang Pencipta, sesama manusia dan alam sekitar sebagai bentuk keseimbangan semesta raya,” tuturnya.
Gusti Hayu menyampaikan berbagai paparan dengan studi keilmuan. Antara lain antropologi, filosofi, sejarah, politik dan lainnya baik dari pemikir dalam dan luar negeri bisa saling bertukar pendapat serta membuka kembali wawasan budaya Jawa. Selama dua hari, berbagai paparan dengan berbagai studi keilmuan baik dari pemikir dalam dan luar negeri saling bertukar pendapat serta membuka kembali wawasan terkait budaya Jawa.
BACA JUGA:Peringatan Hari Suci Nyepi, Listrik Kawasan TWC Prambanan Dipadamkan 24 Jam
Para panelis yang terpilih melalui mekanisme call for paper akan memaparkan hasil penelitiannya terkait tema. Kemudian dibagi dalam 4 sub-tema, berupa sejarah, seni dan pertunjukan, daur hidup serta lintas budaya yang terbagi dalam dua hari penyelenggaraan simposium.
”Total ada sekitar 96 call for paper yang mengirimkan kemudian kami saring dalam dua tahap. Yang membedakan simposium ini dengan lainnya, dimana kami benar-benar mengarahkan peserta dibimbing para reviewer hingga tulisan akhirnya jadi. Inilah yang menjadi seleksi kedua, hingga akhirnya terpilih para panelis atau presenter yang memaparkan karya tulisnya dua hari ini,” ungkap putri keempat Raja Keraton Yogyakarta tersebut.
Turut hadir di simposium GKR Bendara dan KPH Notonegoro beserta perwakilan pemerintah, Pura Pakualaman, Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaran, jajaran Forkopimda, serta rektor dari beberapa universitas mitra Keraton Yogyakarta.
Selain dihadiri secara luring, hadir pula secara online beberapa duta besar RI untuk Suriname, Ceko, Finlandia serta beberapa perwakilan dari KBRI dan KJRI.
Acara simposium dibuka dengan sajian Srimpi Wiraga Pariskara persembahan Kawedanan Kridhamardawa Keraton Yogyakarta. Srimpi Wiraga Pariskara sendiri merupakan karya srimpi pertama Sri Sultan HB X selama bertakhta. Tari ini diciptakan khusus untuk pembukaan simposium yang mana sesuai dengan tema acara, terinspirasi dari upacara adat Tetesan.
BACA JUGA:Hari Suci Nyepi, Tawur Agung Kesanga di Candi Prambanan Berlangsung Khidmat
“Sesuai perintah dari Ngarsa Dalem untuk membuat karya srimpi baru yang mengadopsi upacara Tetesan. Karena upacara Tetesan sendiri memang sudah jarang dilakukan di masyarakat,” imbuh Penghageng Kawedanan Kridhamardawa sekaligus penanggung jawab pementasan tari KPH Notonegoro. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: