6 Tahun Produksi Bawang Merah Brebes Anjlok, ABMI Sambat Pemerintah

6 Tahun Produksi Bawang Merah Brebes Anjlok, ABMI Sambat Pemerintah

MENGECEK - Ketua ABMI Dian Alex Chandra mengecek kualitas bawang merah Brebes di gudang penyimpanan. -EKO FIDIYANTO/ RADAR BREBES -

BREBES, DISWAYJOGJA - Produksi bawang merah di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah terus anjlok sejak 2018. Terakhir, produksi bawang merah 2023 berada di kisaran 250 ribu sampai 290 ribu ton setahun. Produksi ini menurun drastis sejak 2018 yang saat itu mencapai 350 ribu ton setahun dan produksinya stabil dari tahun-tahun sebelumnya.

Menurut data Asosiasi Bawang Merah Indonesia (ABMI), produksi bawang merah di Kabupaten Brebes setiap tahunnya turun drastis sejak 2018. Untuk 2018 produksi bawang merah Brebes masih berada di kisaran 350 ribu ton per tahun. Untuk 2019-2020, produksi masih berada di angka 330 ribu ton per tahun. Kemudian 2021-2023 ini, produksi terus menurun hingga di bawah 300 ribu ton.

”Tahun 2023 produksinya turun, dan sekarang sudah di bawah 300 ribuan ton. Sekitar antara 250 ribu sampai 290 ribu ton,” kata Ketua ABMI, Dian Alex Chandra, Jumat 2 Februari 2024.

BACA JUGA:Ganjar Siap Penuhi Kebutuhan Produksi Petani Bawang Merah Brebes Hingga Jual Hasil Panen

Alex mengungkapkan, beberapa penyebab turunnya produktivitas bawang merah Brebes. Di antaranya, terkait kebijakan Dirjen Hortikultura Kementerian Pertanian soal pengembangan kawasan sentra produksi bawang merah di seluruh Indonesia. Dengan demikian, saat ini muncul sentra-sentra produksi baru yang berimbas pada sentra produksi lama (Brebes) kalah bersaing.

”Ada daerah-daerah yang mengalami penurunan produksi yang sangat signifikan. Di Brebes, Demak, Kendal. Itu penurunan produksi sangat terasa sekali. Paling terasa di Brebes,” ungkap Alex.

Alex menyebut saat ini, untuk musim hujan Break Event Point (BEP) atau harga impas produksi bawang merah Brebes sekitar Rp 18 ribu per kg. Sedangkan di musim kemarau BEP produksi bawang merah Rp 15 ribu per kg. Namun untuk harga jual, petani sering mengalami kerugian karena harganya di bawah BEP. Imbasnya, petani yang mengalami kerugian cenderung tidak menanam lagi bawang merah.

BACA JUGA:Kekeringan, 450 Hektare Bawang Merah di Brebes Gagal Panen, Petani Rugi Rp27 Miliar

”Petani yang rugi cenderung tidak menanam lagi, sehingga petani-petaninya berkurang. Jadi menjadi faktor penurunan produktivitas,” lanjut Alex.

Ketua ABMI membeberkan, faktor penurunan produksi bawang merah, selain banyaknya sentra baru produksi bawang merah dan jumlah petani yang berkurang, juga luas lahan produksi yang berkurang. Ditambah lagi, tahun 2023 kemarin ada beberapa penyakit atau hama yang sangat mengurangi produktifitas bawang merah di Brebes.

”Harapan petani, kita jangan dibiarkan berjuang sendiri. Harapan petani, pada saat panen raya, berharap dibeli pemerintah dengan harga yang layak,” harapnya.

BACA JUGA:Giliran Harga Cabai dan Bawang di Brebes Turun Jelang Nataru

Berdasarkan kalkulasi dari ABMI, pemerintah harus memiliki gudang cool storage berkapasitas 10 ribu ton dan menyiapkan anggaran untuk penyerapan hasil panen. Jika pemerintah melalui Badan Pangan Nasional (Bapanas) maupun Kementerian Pertanian ataupun Kementerian Perdagangan hadir untuk menyerap hasil panen bawang merah, maka harga bisa terus stabil.

”Kita bawang merah pengin seperti beras, dikendalikan pemerintah. Pada saat panen raya, hasil panen bawang merah bisa dibeli Rp 15 ribu per kilo, disimpan di (gudang) cool storage. Turunnya bawang merah tidak akan lama, dua bulan, maksimal tiga bulan. Kemudian pemerintah dijual Rp20 ribu atau Rp 21 ribu sudah untung. Pada saat murah diserap negara, pada saat harga tinggi bisa diintervensi pemerintah, karena punya negara,” tandasnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) Brebes, Yulia Hendrawati mengatakan, produksi bawang merah Brebes menurun disebabkan luas tanam dan luas panen yang juga menurun. Hal ini terjadi karena dampak perubahan iklim dengan kemarau yang lebih panjang dari kondisi normal. Kondisi ini berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman.

”Kondisi iklim ini menyebabkan munculnya serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) dan jugag adanya mundur waktu tanam menyesuaikan ketersediaan air menunggu musim hujan tiba. Di beberapa lokasi juga ada yang alih tanam,” ungkap Yulia.

Yulia merinci, pada 2020 Luas Tanam 32.761 hektare, Luas Panen 38.951 hektare, Produksi 401.615 ton dengan Provitas 10,31 ton per hektare. Pada 2021, Luas Tanam 34.654 hektare, Luas Panen 34.082 hektare, Produksi 374.443 ton dengan Provitas 10,99 ton per hektare. Kemudian pada 2022, Luas Tanam 30.757 hektare, Luas Panen 32.571 hektare, Produksi 384.448 ton dengan Provitas 11,80 ton per hektar. Terakhir, pada 2023 Luas Tanam 26.331 hektare, Luas Panen 24.182 hektare,  Produksi 289.942 ton dengan Provitas 11,99 ton per hektare. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: