Buruh DIY Gelisah, Molornya UMP/UMK Picu Kekhawatiran Kehidupan Layak

Buruh DIY Gelisah, Molornya UMP/UMK Picu Kekhawatiran Kehidupan Layak

Puluhan buruh yang tergabung dalam MPBI DIY melakukan aksi damai beberapa waktu yang lalu --Foto: Kristiani Tandi Rani/diswayjogja.id

SLEMAN, diswayjogja.id - Molornya penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) di Daerah Istimewa Yogyakarta menimbulkan kegelisahan di kalangan buruh. 

Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DIY menilai keterlambatan ini memicu ketidakpastian dan berpotensi mengurangi efektivitas dialog antara pemerintah dan pekerja.

Irsyad Ade Irawan, Koordinator MPBI DIY, mengatakan, hal pertama yang menjadi sorotannya adalah melihat molornya penetapan UMP dan UMK menimbulkan kegelisahan bagi buruh. 

"Ketidakpastian ini membuat buruh mempertanyakan komitmen pemerintah dalam memastikan upah minimum yang sesuai kebutuhan hidup layak," katanya, Kamis (11/12/2025). 

Ia menambahkan ketika proses penetapan UMP/UMK semakin mepet dan tidak jelas metode penghitungannya, tentu ada kekhawatiran bahwa ruang dialog menjadi tidak optimal. 

"Saat waktu terlalu sempit, prosesnya cenderung formalitas dan tidak cukup memberi ruang pembahasan tentang kondisi riil buruh," ucapnya. 

BACA JUGA : Kritik Kebijakan Upah, MPBI DIY Desak Pemerintah Tinggalkan Formula PP 56/2023

BACA JUGA : MPBI DIY Desak UMP 2026 Naik Rp4 Juta dan Perlindungan Pekerja

Irsyad menegaskan, saat ini MPBI mendesak pemerintah tidak menjadikan sempitnya waktu sebagai alasan untuk mengabaikan substansi kebijakan upah, yaitu upah yang dapat memenuhi Kebutuhan Hidup Layak (KHL). 

"Buruh membutuhkan kepastian, keadilan, dan keberpihakan yang nyata. Upah yang layak bukan sekadar angka, tetapi syarat dasar bagi terpenuhinya kehidupan yang manusiawi," tuturnya. 

Sebagai respons atas situasi ini, MPBI DIY menyampaikan tuntutan:

1. Pemerintah pusat dan daerah segera menetapkan UMP/UMK secara demokratis. Pemerintah harus membuka data perhitungan KHL,  serta variabel lain yang digunakan.

2. Penetapan upah wajib berpihak pada kebutuhan hidup layak (KHL), bukan hanya mengikuti formula yang berpotensi menekan nilai kenaikan upah.

3. Cabut dan revisi regulasi yang melemahkan posisi buruh dalam penetapan upah, terutama kebijakan yang membatasi kenaikan upah dari tahun ke tahun.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: