Noe Letto Sebut Publik Figur Itu Bukan Soal Baju, Tapi Tanggung Jawab

Minggu 07-12-2025,17:39 WIB
Reporter : Kristiani Tandi Rani
Editor : Syamsul Falaq

Mengikuti perkembangan zaman tanpa landasan nilai, menurutnya, hanya akan membuat manusia kehilangan arah.

“Oh, nggak akan selesai kalau ikutin zaman. Tentu, tentu. Passion selalu berkembang ya soalnya,” lanjutnya.

Ia kemudian menyinggung bahwa seni, apa pun bentuknya, pada dasarnya adalah latihan untuk menghaluskan rasa. 

Menurutnya, seseorang yang terbiasa dekat dengan seni akan tumbuh lebih peka, lebih sadar terhadap lingkungan, dan lebih mempertimbangkan dampak perbuatannya pada orang lain.

"Kalau seni sendiri kan melatih kehalusan rasa,” pungkasnya.

Sebaliknya, ia menilai perilaku korupsi hanya mungkin dilakukan oleh orang yang hatinya telah mengeras. 

BACA JUGA : DPRD DIY Tegaskan Komitmen Antikorupsi Lewat Program Pariwara KPK

BACA JUGA : UU Kesehatan Dinilai Dorong Komersialisasi Layanan, KPKKI UGM Sampaikan Amicus Curiae ke MK

Sensitivitas terhadap sesama hilang, dan yang tersisa hanyalah kepentingan pribadi. 

Noe menggambarkan bahwa tindakan korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan tanda bahwa hati seseorang telah mati rasa.

“Orang yang bersedia korupsi, nyolong, itu pasti hatinya sudah beku, sudah jadi batu. Karena tidak memikirkan bahwa satu kegiatan kecil merugikan dan menyakiti banyak orang,” tandasnya.

Meski begitu, ia menegaskan bahwa seni bukanlah obat langsung bagi korupsi. Namun ia percaya seni dapat menjadi medium untuk menata hati, membuka ruang empati, dan mencairkan kecenderungan manusia untuk hanya berfokus pada diri sendiri.

“Mungkin di sini seni tidak langsung pada urusan korupsinya, ya. Tapi mencairkan hati, menata hati agar lebih sensitif terhadap sekitarnya,” tuturnya.

Pandangan Noe menambah warna baru dalam diskusi antikorupsi di Hakordia 2025, menghadirkan pendekatan yang lebih humanis, bahwa pemberantasan korupsi tidak hanya soal hukum, tapi juga soal menghidupkan kembali nurani.

Kategori :