UU Kesehatan Dinilai Dorong Komersialisasi Layanan, KPKKI UGM Sampaikan Amicus Curiae ke MK

UU Kesehatan Dinilai Dorong Komersialisasi Layanan, KPKKI UGM  Sampaikan Amicus Curiae ke MK

Ketua Komunitas Peduli Kebijakan Kesehatan Indonesia (KPKKI), Prof. Dr. Wahyudi Kumorotomo (tengah) dan Ketua PUKAT UGM, Dr. Totok Dwi Diantoro (kanan), dalam temu media di Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM, Senin (8/9/2025). --Foto: Anam AK/diswayjogja.id

YOGYAKARTA, diswayjogja.id - Sejumlah akademisi dan aktivis kebijakan publik menyampaikan keprihatinan atas dampak Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 dan turunannya, PP Nomor 28 Tahun 2024, yang dinilai mendorong komersialisasi layanan kesehatan serta mengancam hak publik atas layanan yang adil dan merata.

Ketua Komunitas Peduli Kebijakan Kesehatan Indonesia (KPKKI), Prof. Dr. Wahyudi Kumorotomo, menyatakan bahwa implementasi kebijakan tersebut telah menyebabkan memburuknya kualitas pelayanan di rumah sakit vertikal di Indonesia.

“Backlog antrian pasien di RS Karya tahun lalu mencapai 2.278 pasien dalam satu tahun. Ini termasuk pasien kanker dan gagal ginjal yang seharusnya mendapat penanganan cepat. Menunggu 3–5 bulan bisa berarti kehilangan nyawa,” ujarnya di Pusat Studi Pancasila (PSP) Universitas Gadjah Mada (UGM), Senin (8/9/2025). 

Menurut Prof. Wahyudi, hal ini terjadi karena rumah sakit kini lebih didorong untuk mengejar target pasien umum atau yang diasuransikan oleh perusahaan, sementara pasien Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terabaikan. 

BACA JUGA : Korban Aksi Demonstrasi Dirawat di RSUP Dr Sardjito, Pemda DIY Tanggung Biaya Kesehatan

BACA JUGA : Tim Kesehatan UNISA Siaga Tangani Aksi Demonstrasi di Yogyakarta

Situasi tersebut, kata dia, diperparah dengan kebijakan membuka pintu masuk dokter asing ke Indonesia.

“Dokter asing tentu mengharapkan bayaran tinggi, bahkan lebih dari dokter lokal. Ini justru memperkuat komersialisasi layanan kesehatan,” katanya. 

Pihaknya menilai kebijakan ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap konstitusi, karena menjauhkan akses kesehatan yang adil bagi seluruh rakyat.

Merespons kondisi tersebut, KPKKI bersama sejumlah akademisi dan organisasi, termasuk Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM, mengajukan amicus curiae atau sahabat pengadilan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) dalam rangka uji materi UU Kesehatan.

BACA JUGA : Pelajar di Sleman Alami Kecemasan dan Depresi, LAKI dan Rumpun Nurani Usung Program Kesehatan Mental

BACA JUGA : Sri Sultan Sebut Neurorehabilitasi Sebagai Wujud 'Nguwongke' dalam Kemajuan Teknologi Digital Kedokteran

Sementara itu, Ketua PUKAT UGM, Dr. Totok Dwi Diantoro, menyebut Undang-Unang tersebut menunjukkan gejala sentralisasi kekuasaan berlebihan di tangan Menteri Kesehatan, termasuk dalam aspek tata kelola pelayanan publik dan pendidikan dokter spesialis.

“Kini ada kecenderungan pendidikan dokter spesialis dilakukan secara hospital-based, tanpa melibatkan perguruan tinggi seperti UGM. Ini berisiko mereduksi kualitas pendidikan medis,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: