SLEMAN, diswayjogja.id - Pengamat Politik UGM, Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, mengingatkan bahwa Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang baru disahkan memiliki celah besar untuk disalahgunakan oleh aparat maupun aktor politik.
Dia menilai publik harus lebih waspada karena banyak pasal yang bisa menimbulkan persoalan dalam implementasi di lapangan.
Bagus menjelaskan, kekhawatiran utama masyarakat sipil terhadap RKUHP sangat beralasan karena praktik penegakan hukum saat ini saja masih menyimpan banyak persoalan.
Dia mencontohkan kasus demonstrasi yang menghadirkan banyak korban, mulai dari penangkapan sewenang-wenang hingga penemuan terlambat terhadap dua jenazah demonstran.
BACA JUGA : RKUHAP Disahkan, Ahli Hukum UGM Ungkap Banyak Pasal Masih Abu-Abu
BACA JUGA : Cuaca Panas Ekstrem Masih Berlanjut, Pakar UGM Sebut Efek Urban dan AC Perparah Suhu Kota
“Prosedur yang sudah ada saja tidak ditaati, apalagi dengan tawaran aturan baru,” ujarnya dalam diskusi Pojok Bulaksumur edisi November 2025 bertajuk “Menelaah RKUHAP: Implikasi Hukum, Politik, dan Ruang Digital” di Selasar Tengah Gedung Pusat UGM, Kamis (20/11/2025).
Bagus menyebut kondisi itu membuka potensi overpower aparat penegak hukum dan memperbesar peluang penyalahgunaan kewenangan.
Menurutnya, kepolisian, kejaksaan, kehakiman, hingga Komisi III DPR memiliki kepentingan atas lolosnya regulasi tersebut, sehingga publik harus memahami bahwa “benang kusutnya sangat kompleks”.
Bagus menilai salah satu faktor lemahnya respons publik terhadap pengesahan RKUHP adalah karena isu-isu yang terkandung di dalamnya terasa abstrak bagi masyarakat awam.
BACA JUGA : Pakar Politik UGM: Program MBG Harus Diperbaiki, Bukan Proyek Bancakan
BACA JUGA : Tanggapan Resmi UGM Terkait Kasus Dugaan Korupsi Biji Kakao Rp6,7 Miliar
“Kalau undang-undang cipta kerja, orang bisa melihat dampaknya pada pekerja. Tapi kalau isu penyadapan, misalnya, masyarakat sulit melihat apa bahayanya. Mereka menganggap biasa saja,” katanya.
Menurutnya, persoalan ini harus menjadi perhatian perguruan tinggi, komunitas, hingga keluarga untuk memperkuat edukasi politik dan pemahaman hukum bagi masyarakat.
Faktor lain yang membuat masyarakat tampak pasif, kata Bagus, adalah kondisi political fatigue atau kelelahan politik. Publik jenuh melihat dinamika politik yang penuh konflik, sehingga memilih menjauh dari isu-isu kebijakan yang sebenarnya menyangkut hak mereka.