Sementara itu untuk menghapus maskot tanpa menggantinya juga tidak bisa karena setiap KPU di daerah diwajibkan memiliki maskot dan jingle.
“Sesuai regulasi harus ada maskot dan jingle, jadi satu kesatuan. Itu menjadi problem kami secara teknis,” ungkapnya.
Anggota Forum Perempuan Peduli Pilkada Kota Jogja 2024, Renny A. Frahesty, menuturkan bias gender itu bukan penilaian subjektifnya, melainkan 65 orang yang mengatakan maskot tersebut lebih terlihat seperti laki-laki.
BACA JUGA : Dinas Kebudayaan Gelar Roadshow Kesejarahan, Pentaskan Ketoprak Dumadine Selokan Mataram di Margodadi
“Terima kasih KPU menerima masukan itu sebagai bias gender. Perspektif Gedsi [kesetaraan gender, disabilitas dan inklusi sosial] ini harus masuk di masyarakat. Kami juga sulit. Prosesnya [pembuatan maskot] menurut kami tidak transparan. Unsur juri hanya dari satu bidang, yakni budaya. Ini melupakan nilai yang lebih besar, yakni pendidikan,” katanya.
Ia berharap KPU Kota Jogja bisa menarik maskot tersebut dan menggantinya dengan yang lebih netral. “Hal ini penting karena proses pemilu atau pilkada melibatkan semua kalangan, bukan hanya laki-laki saja,” ungkapnya.