Buku Te Tegal Karya Akhmad Zubaedi, Ungkap Sejarah Hingga Legenda yang Pernah Terjadi di Tegal

Selasa 02-07-2024,08:19 WIB
Reporter : K. Anam Syahmadani
Editor : M. Fatkhurohman

Diluncurkannya buku Te Tegal: Antara Sejarah, Budaya, dan Legenda seperti menjadi oase dalam kepenulisan sejarah Tegal. Buku bersampul Gunung Slamet setebal 535 halaman yang merupakan karya terbaru dari Akhmad Zubaedi ini melengkapi perbendaharaan buku sejarah tentang Tegal yang telah lebih dulu ada. Apa saja isinya?

...

PRIA berjaket navy itu akhirnya tiba setelah menembus derasnya hujan yang mengguyur Kota Slawi, Sabtu siang, 29 Juni lalu. Dia adalah Akhmad Zubaedi, seorang pegiat sejarah yang dari tangannya terlahir buku Menyusuri Jejak-Jejak Tegal, Melihat Sejarah Tegal dari Sisi Kolonial dan Nusantara, serta yang baru diluncurkan, Te Tegal: Antara Sejarah, Budaya, dan Legenda.

BACA JUGA:Menilik Pedagang Buku Bekas di Pasar Alun-alun Tegal, Secercah Harapan Disematkan ke Pemerintah

Setelah memesan minuman, Zubaedi memulai ceritanya kepada Radar Tegal. Pria 33 tahun itu menjelaskan dirinya konsisten menulis buku tentang Tegal karena masih banyak sejarah Tegal yang perlu digali. Dengan demikian, tertantang. Terlebih, buku sejarah Tegal seperti Tegal Sepanjang Sejarah karya Soemarno BA Dkk dan Tegal dari Masa ke Masa karya R Suputro tidak lagi disebarluaskan.

Dalam penulisan buku Te Tegal: Antara Sejarah, Budaya, dan Legenda dan buku sejarah Tegal lainnya, ungkap Zubaedi, sempat mengalami kesulitan dalam penggalian data. ”Ada kesulitan penggalian data karena banyak serat yang masih disembuyikan. Entah itu karena khawatir rusak atau apa, yang jelas banyak yang disembuyikan,” tutur suami dari Nur Laeli itu.

Dengan tekad yang keras, Zubaedi akhirnya mampu mengatasi kesulitan dan menyelesaikan karya terbarunya itu. Sebagaimana judulnya, buku Te Tegal: Antara Sejarah, Budaya, dan Legenda berisi tentang sejarah, budaya, dan legenda yang pernah terjadi di tanah Tegal, mulai dari era purba hingga pasca kemerdekaan Republik Indonesia.

BACA JUGA:Mahasiswa Unnes Teliti Adagium Banteng Loreng Binoncengan, Wawancara Hingga Blusukan ke Situs Bersejarah

Dalam buku tersebut memuat hasil penelusuran Zubaedi ke Semedo. Kemudian, ke candi-candi yang menggambarkan adanya pengaruh Hindu-Budha di Tegal. Candi-candi dimaksud antara lain Candi Kesuben, Candi Bulus, Candi Bumijawa, Candi Anjing, Candi Sidamulya, Candi Karangjambu, Candi Limbangan, Candi Batur I, Candi Batur II, dan Candi Budo.

Zubaedi juga memotret perkembangan agama Islam di Tegal melalui penelusuran ke makam-makam. Cerita dimulai dengan kisah Syekh Sayyid Abdurrohman dan Syekh Sayyid Abdurrohim. Mereka adalah kakak beradik berasal dari Baghdad, Irak, yang kemudian dikenal dengan sebutan Mbah Suro Ponolawen dan situsnya ada di Desa Pagiyanten, Kecamatan Adiwerna.

Selain Mbah Suro Ponolawen terdapat kisah Syekh Maulana Maghribi, Mbah Panggung, Ki Ageng Balamoa, hingga tentu saja, Ki Gede Sebayu, sang perintis pemerintahan Tegal.

Menurut Zubaedi, Ki Gede Sebayu memiliki kiprah yang luar biasa, sehingga masyarakat mengangkatnya sebagai sesepuh Tegal pada urutan pertama.

Buku ini juga memuat penelusuran Zubaedi tentang lokasi pohon jati yang disayembarakan Ki Gede Sebayu untuk membuat masjid di Kalisoka. Karena membutuhkan banyak kayu untuk pembangunan masjid, Ki Gede Sebayu membuat sayembara itu dan pemenangnya akan dinikahkan dengan putri Ki Gede Sebayu, Raden Ayu Giyanti Subhalaksana.

Dikisahkan sebanyak dua puluh lima pendekar mengikuti sayembara ini. Pendekar nomor terakhir lah yang ternyata mampu merobohkan pohon jati tersebut. Dia adalah Ki Jadug atau Pangeran Purbaya, yang kemudian menjadi menantu Ki Gede Sebayu. Jumlah peserta sayembara disebut-sebut yang mengilhami penamaan Slawi, yaitu dari kata selawe atau dua puluh lima.

BACA JUGA:Program DBB Kabupaten Tegal, Balamoa Bentuk Embrio Desa Budaya melalui Festival Jinten dan Gamelan Maulid

Buku ini juga menyajikan informasi tentang bangunan peninggalan-peninggalan masa lalu seperti Gedung SCS, Stasiun Tegal, Gedung DPRD, Lanal Tegal, hingga monumen dan situs lain di Tegal. 

Zubaedi berharap masyarakat tidak melupakan sejarah daerahnya sendiri. “Dengan menghargai sejarah, otomatis menghargai para leluhurnya,” ucap ayah dari Akhmad Fattah Dasendria itu. (*)

Kategori :