Dee Lestari Ungkap Tantangan Menulis Novel: Dimensi Ini Aja Belum Kelar, Gimana Dimensi Lain?
Dee Lestari dalam Festival Sastra Yogyakarta 2025 membahas proses kreatif novel Intelegensi Embun Pagi dan cerpen Tanpa Rencana - Kristiani Tandi Rani--
YOGYAKARTA, diswayjogja.id — Penulis dan penyanyi Dee Lestari mengatakan bahwa proses menulis buku bukanlah hal mudah.
“Semuanya susah. Tulis buku itu mah nggak gampang,” katanya saat tampil di Festival Sastra Yogyakarta (FSY) 2025, Senin (4/8/2025).
Novel Intelegensi Embun Pagi (IEP) disebutnya sebagai karya paling kompleks.
“Pertama, dia adalah kulminasi dari lima buku sebelumnya. Dari yang tadinya saya cuma ngerjain satu tokoh, tiba-tiba jadi enam. Masing-masing harus punya petualangan sendiri-sendiri,” terangnya.
BACA JUGA : 7 Aplikasi Terbaik untuk Menulis, Kembangkan Keterampilan Sekaligus Hasilkan Cuan Mulai Rp50 Ribu
BACA JUGA : Dee Lestari Ungkap Rahasia: Dulu Bikin Mars SD, Sekarang Puitis Gara-gara Sapardi
Lebih jauh, IEP juga membawa tantangan imajinatif karena menghadirkan konsep dunia paralel.
“Ada juga bagian dimensi lain. Itu gimana? Saya harus bayangin dimensi lain, ya Allah. Dimensi ini aja belum keluar ya, gimana dimensi lain?” candanya disambut tawa penggemarnya.
Karya berikutnya yang dianggap berat adalah Aroma Karsa, karena membutuhkan riset yang mendalam dan tak biasa.
“Aroma Karsa itu memaksa saya mengetahui hal-hal hil-hil yang mustahal. Saya harus tahu cara ngeracik parfum. Terus harus membayangkan wangi yang nggak pernah bisa dicium,” kisahnya.
Dalam proses menulis novel tersebut, ia mengunjungi berbagai tempat seperti Bantar Gebang, pabrik kosmetik, dan Gunung Lawu demi memperkuat riset latar cerita. Sementara itu, novel Rapijali meski berlatar dunia remaja, tetap menyimpan drama yang sangat kompleks.
"Walaupun kisah anak SMA, kompleksitas dramanya luar biasa. Semua karakter harus punya drama dan saling terhubung,” ujarnya.
Dee mengaku sangat menikmati dunia Rapijali.
BACA JUGA : Dewi Lestari Tampilkan Musical Storytelling Aromakarsa di Penutupan FSY 2025
BACA JUGA : Komunitas Sastra Yogyakarta Hadirkan Rekomendasi Kuat untuk Perkuat Ekosistem Literasi
“Saya betah sekali berada di semestanya. Bahkan bertahun-tahun setelahnya saya masih kebayang-bayang terus,” tambahnya.
Ia menyebut novel itu berasal dari kisah lama yang ia tulis di usia 17 tahun.
“Tokohnya Ping, anak kampung yang musikal. Saya dulu menghayalkan saya bisa sejago dia, tapi nggak bisa, ya sudah, jadilah karakter Ping,” katanya.
Cerpen Tanpa Rencana menjadi pengalaman berbeda.
“Saya sebetulnya tidak terlalu banyak menulis kumpulan cerita. Dari 18 buku, hanya Filosofi Kopi, Madre, Rectoverso, dan Tanpa Rencana,” sebutnya.
Namun, dari proyek ini, ia justru merasa belajar paling banyak.
“Ini pertama kali saya melibatkan pembaca. Dan saya jadi percaya, ide itu bisa datang dari mana saja. Nggak harus naik gunung, pantai, atau tempat eksotis. Tapi dari hal-hal sederhana di sekitar kita,” jelasnya.
BACA JUGA : Komunitas Sastra Yogyakarta Hadirkan Rekomendasi Kuat untuk Perkuat Ekosistem Literasi
BACA JUGA : Festival Sastra Yogyakarta Diapresiasi Sekda Kota: Kehangatan Menyatukan dan Menginspirasi
Cerita paling absurd dalam buku itu adalah Transendensi Ampas Insani.
Dee menggambarkannya sebagai cara terbaik memahami konsep ikhlas.
“Ikhlas itu kan abstrak ya. Tapi ternyata ada loh hal yang kita lakukan setiap hari secara ikhlas: buang hajat,” tuturnya, disambut gelak tawa.
“Yang tau-tau aja nih. Silakan dibaca. Dirangkai aja tuh huruf depannya. Transcendensi Ampas Insani. Belajar ikhlas dari mana saja,” lanjutnya.
Meski mengaku menyukai struktur dan perencanaan, Dee sadar hidup tak selalu bisa diprediksi.
“Saya suka banget mencatat. Berat badan saya sembilan tahun tercatat. Bahkan kalau ditanya parkir bulan Januari 2019, saya ada catatannya,” tuturnya.
Namun ia juga menekankan pentingnya menerima ketidakterdugaan.
“Hidup nggak selamanya terencana. Justru dari kejutan dan ketidaknyamanan itu, mental kita bisa dikuatkan,” pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber: