Pemerintah Berencana Batasi Anak Gunakan Media Sosial, Begini Saran Pakar UGM
Pemerintah berencana batasi anak gunakan media sosial--iStockphoto
“Dibedakan antara kecakapan digital dan literasi digital. Memang penting untuk memahami cara menggunakan perangkat word, membuat coding, tapi jauh lebih penting untuk mempelajari etiket dan netiket berdigital,” tegas Hafiz.
Untuk membuat masyarakat lebih selektif dan bijak di ruang digital, menurut Hafiz literasi digital seharusnya menjadi prioritas dengan memposisikan masyarakat sebagai pengguna. Selain pembelajaran, pemerintah mempunyai pilihan untuk menelaah kebijakan-kebijakan perusahaan penyedia platform digital seperti X, Meta, YouTube, TikTok, dan lainnya.
BACA JUGA : Syukuran Pemilu Aman dan Damai, Gubernur DIY Gelar Acara Lesehan Bareng Ribuan Masyarakat
BACA JUGA : Lestarikan Pusaka Kebanggan Bangsa, Pameran Keris Pusaka Ageming Satriya Berlangsung di Ndalem Yudhonegaraan
Beberapa platform, khususnya media sosial telah mengembangkan content guidelines atau com guidelines untuk menyaring informasi. Seperti pada platform X misalnya, terdapat fitur community notes yang memungkinkan pengguna menambahkan catatan atau melabeli konten misinformasi.
“Kita tidak bisa mengeneralisir kebutuhan dan kondisi literasi digital, karena setiap platform menggambarkan pengguna yang berbeda. Tapi menurut saya masih perlu banyak upaya,” katanya.
Dampak digitalisasi ini tidak hanya mengenai pada anak-anak saja, namun juga orang tua dan lansia. Pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Urgensi literasi digital bisa dilihat dengan berbagai perkembangan misinformasi seperti penggunaan DeepFake dan AI Generatif.
BACA JUGA : Soal Libur Sekolah Saat Ramadan, Ustaz Adi Hidayat: Jangan Hentikan Proses Belajar
BACA JUGA : Jaga Nutrisi Ibu Hamil, Pemkot Yogyakarta dan Dinas Kesehatan Akan Distribusikan MMS
Hal itu, kata Hafiz, bisa dilihat dalam survei nasional oleh Center for Strategiz and International Studies (CSIS) terhadap 1.200 masyarakat Indonesia.
Yang mana dalam survei itu menunjukkan 33,3% dari 11,8% responden yang pernah melihat konten DeepFake menyatakan percaya konten tersebut benar. Parahnya, 4,1% responden yang melihat konten DeepFake lainnya mengaku pernah membagikan konten tersebut.
Melihat masifnya produksi konten digital dan persebarannya, Hafiz tak menampik bila pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Karenanya Hafiz mengatakan jika Komdigi bisa berkolaborasi dengan aliansi anti-hoaks dan pakar-pakar digital di masyarakat.
“Kami di CfDS punya berbagai program kerja sama dengan organisasi lain seperti Mafindo. Harapannya gerakan masyarakat ini bisa terus didukung oleh pemerintah,” ucapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: harianjogja.com