Camat Margadana Kota Tegal Apresiasi Eksistensi Gelaran Parowulan

Camat Margadana Kota Tegal Apresiasi Eksistensi Gelaran Parowulan

BACA PUISI - Camat Margadana Ary Budi Wibowo membaca puisi berjudul Indonesia Kusebut Namamu karya Diah Setyawati dalam acara Gelaran Parowulan yang diadakan di Pendapa Jogodipa Kelurahan Margadana.-K. ANAM SYAHMADANI/RADAR TEGAL -

TEGAL, DISWAYJOGJA - Camat Margadana Ary Budi Wibowo mengapresiasi eksistensi Gelaran Parowulan yang kali ini diselenggarakan di Pendapa Jogodipa yang terletak di Jalan Banyumas 2, RT 05 RW 10, Kelurahan Margadana, Kecamatan Margadana, Kota Tegal, beberapa waktu lalu. Gelaran Parowulan diisi dengan acara doa bersama, pentas seni, dan gendu-gendu rasa.

Sejak siang, Gelaran Parowulan dimeriahkan dengan cukur rambut dan cuci sepatu gratis, bazar pakaian layak pakai, dan mencicipi kopi jahe yang dipersembahkan Komunitas Sasasehan, serta pameran karikatur. Sore harinya, Bahari Grup membawakan Akustik Juang lalu dilanjutkan pembacaan puisi oleh Riani Pemulung dan Faisal Karya.

BACA JUGA:Budayawan Kota Tegal Dorong Perguruan Tinggi Teliti Simbol Karakter Daerah

Setelah itu, pementasan Barongan Kepandean dan pengenalan musik gamelan oleh Paguyuban Gamelan Darmo Anom Kelurahan Pesurungan Kidul, penampilan KSB dan Musisi Tulen.

Pada malam harinya doa bersama Ki Deong untuk mendoakan seniman yang telah berpulang. Kemudian, sambutan-sambutan dan selintas pandang yang disampaikan Badruzzaman, serta penampilan gamelan. Pada kesempatan ini, Camat Margadana Ary Budi Wibowo turut naik pentas. Ary membawakan puisi Diah Setyawati yang berjudul Indonesia Kusebut Namamu.

Di hadapan sang penulis dan seniman serta budayawan yang hadir, Ary dengan gaya khasnya membacakan puisi tersebut. Puisi lainnya dibawakan Serly Rostarina, Zara Zetira, Musabbih, Dyon Dyonk. Sementara untuk monolog ditampilkan Apas Khafasy dan geguritan oleh Wijaya, serta penampilan akustik Bung Bram dan Faisal Bakhri. Acara gendu-gendu rasa dipandu moderator Ki Widodo Wayang Pring dengan tema Tegal Tempo Doeloe dengan menghadirkan narsumber Akhmad Zubaedi dan Om Petrus.

“Ini merupakan bentuk eksistensi kegiatan seni budaya para seniman. Pemerintah Kecamatan Margadana sangat mendukung kegiatan ini dan saya akan selalu support,” kata Ary, Sabtu, 25 Mei 2024.

Ary berharap Gelaran Parowulan menjadi sasaran antara menuju acara lebih besar yang akan diadakan oleh Kecamatan Margadana yaitu Margadana Culture Festival.

BACA JUGA:Kelurahan Mintaragen Mewakili Kota Tegal Maju ke Provinsi Jawa Tengah

Lurah Margadana Slamet Sugiarto juga menyampaikan apresiasinya terhadap Gelaran Parowulan. Menurut lurah yang akrab disapa Ugi itu, Gelaran Parowulan merupakan upaya melestarikan seni budaya lokal yang tumbuh di masyarakat sejak dulu. Anak-anak muda Kelurahan Margadana berkolaborasi dengan para seniman dan budayawan lainnya. Dengan harapan tidak menghilangkan budaya leluhur,” ujar Ugi.

Gelaran Parowulan merupakan kegiatan rutin yang diselenggarakan sebagai wadah untuk silaturahim para seniman, yang berawal dari kegiatan latihan wayang kertas di Sanggar Busro Samudro Desa Pagongan, Kecamatan Dukuhturi, Kabupaten Tegal menjelang pandemi Covid-19 beberapa tahun lalu. Penggeraknya kala itu antara lain Apas Khafasy, Retno Kusrini, Ki Deong, dan Dudung.

Gelaran Parowulan adalah pergerakan kultural dan nonstruktural. Konsepnya gotong royong dan dalam penyelenggaraan kegiatannya tidak mencari pendanaan dengan mengedarkan proposal.

“Misi kami adalah memasyarakatkan seni. Memperkenalkan seni ke masyarakat. Agar kesenian membumi dan dapat menjadi ajang silaturahmi,” ucap Apas.

Menurut Apas, seniman yang terlibat dalam Gelaran Parowulan mulai dari Tegal, Slawi, Pemalang, dan Brebes, baik yang bergerak sebagai penyair, monolog, penyanyi, penari, perupa, musisi dan lainnya. Gelaran Parowulan bersifat kolektif dan tidak ada tokoh. Gerakan ini ingin mewadahi talenta-talenta muda agar terangkat potensinya.

Seniman asal Pemalang, Wijaya, yang dalam Gelaran Parowulan ini membawakan geguritan atau puisi berbahasa Jawa berjudul Idul Fitri mengaku selalu menyempatkan diri untuk hadir dalam acara Gelaran Parowulan. “Saya senang sekali. Acara Gelaran Parowulan selalu saya impi-impikan. Ini bukti seniman Tegal selalu ada aksi nyata,” ucap Wijaya.

BACA JUGA:Warga Kelurahan Krandon Kota Tegal Swadaya Perbaiki Jembatan

Sementara itu, Badruzzaman yang meneliti Gelaran Parowulan untuk tesis doktoralnya menyampaikan, Parowulan sendiri berarti separuh bulan, yang menggambarkan sisi gelap dan sisi terang sebagaimana ada dalam hati manusia. Gelaran Parowulan tidak ditunjuk siapa yang akan, namun siapa yang mau menggelar.

Gelaran semacam ini penting, terinspirasi dari Gus Dur, nguri-nguri, tarekatnya silaturahim. Saya melihat dengan berkunjung ke mana-mana. Sama, tidak mengajukan proposal. Ini bentuk keikhlasan. Istiqomah, digelar di berbagai tempat dengan ikhlas. Kemudian merahmati, memberikan kasih sayang,” ungkap Badruzzaman dalam selintas pandangnya.

Badruzzaman menilai Gelaran Parowulan adalah gerakan yang merakyat dan tidak bermegah-megahan. “Gelaran ini merakyat, tidak bermegahan, namun sederhana, apa adanya. Rahmat Allah turun di gelaran. Terlihat semakin banyak dan antusias yang hadir. Ada rasa yang sama, budayawan mengaktifkan kembali budaya,” sebut Badruzzaman. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: