Pidato Kebudayaan Gagas RI, Makna Dwitunggal Mewujudkan Indonesia Berdaulat untuk Kesejahteraan Rakyat

Pidato Kebudayaan Gagas RI, Makna Dwitunggal Mewujudkan Indonesia Berdaulat untuk Kesejahteraan Rakyat

Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X pidato kebudayaan Gagas RI episode ke-7 di Bentara Budaya Jakarta, Selasa, 6 Februari 2024.-DOK.-

JAKARTA, DISWAYJOGJA – Dwitunggal Hamemayu Hayuning Bawana dan Manunggaling Kawula Gusti menjadi pedoman mewujudkan tataran Berdaulat untuk Kesejahteraan Rakyat. Hal itu disampaikan Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X pada pidato kebudayaan Gagas RI episode ke-7 di Bentara Budaya Jakarta, Selasa, 6 Februari 2024.

Sri Sultan menyebut, ada dua makna Dwitunggal Hamemayu Hayuning Bawana dan Manunggaling Kawula Gusti. Yakni refleksi dalam menghadapi tantangan pembangunan dan demokrasi saat ini. 

“Prinsip-prinsip ini terbentuk dari kebijakan luhur dan pandangan hidup yang universal. Membawa kita pada pemahaman bahwa kepemimpinan yang berwibawa tidak hanya memegang kekuasaan, tetapi juga keseimbangan dan harmoni manusia dengan alam, serta menyatukan pemimpin dan rakyat, dalam satu visi dan misi yang sama,” jelas Sri Sultan.

BACA JUGA:RPJPD DIY 2025-2045, Aspek Kebudayaan dan Keistimewaan Menjadi Kekhasan

Menurut Sri Sultan, Dwitunggal ajaran Pangeran Mangkubumi ini adalah refleksi dalam menghadapi tantangan pembangunan dan demokrasi saat ini. Hamemayu Hayuning Bawana menyandang tiga substansi, yaitu Hamengku Nagara, Hamangku Bumi, dan Hamengku Buwana

Hamengku Nagara karena diperlukan negara dan pemerintahan yang mengatur manusia. Hamangku Bumi karena bumi sebagai lingkungan alam adalah sumber penghidupan sehingga wajib dijaga kelestariannya. Hamengku Buwana sendiri merupakan kewajiban manusia yang lebih luas, dalam mengakui, menjaga dan memelihara seluruh isi alam semesta, agar tetap memberikan kekuatan bagi kehidupan manusia.

“Makna yang tersandang dalam Hamengku, Hamangku dan Hamengkoni itu, adalah tugas dan kewajiban mulia manusia, untuk mengagungkan asma Allah, seiring menjadikan perbuatan baik kepada sesama, dan alam lingkungannya, sebagai bukti bahwa ia benar-benar hidup,” papar Sri Sultan.

Sementara ajaran Manunggaling Kawula-Gusti, menurut Sri Sultan, hadir karena demokrasi. Demokrasi tidak datang, tumbuh dan berkembang dengan sendirinya. Diperlukan ikhtiar dari warga negara dan perangkat pendukungnya, untuk menjadikan demokrasi sebagai sejatinya pandangan hidup dalam kehidupan bernegara.

BACA JUGA:2023, Disbud DIY Laksanakan 7 Event Kebudayaan dan 24 Sub Kegiatan dalam Program Penyelenggaraan Keistimewaan

Manunggaling Kawulâ-Gusti berarti bahwa manusia secara sadar harus mengedepankan niat baik secara tulus ikhlas. Dalam hal kepemimpinan, Manunggaling Kawulâ-Gusti adalah mampu memahami dan sadar kapan menjadi memimpin dan kapan dipimpin. Ketika memimpin, harus mementingkan kepentingan yang dipimpin, sedang pada saat dipimpin mengikuti kepemimpinan sang pemimpin.

Dalam konteks keyogyaan, pengertian gusti lebih menekankan pada makna institusi kepemimpinan. Bukan figur atau pribadi tunggal seorang Sultan. Dalam pengertian tersebut, telah diajarkan satu sistem demokrasi modern, suatu lembaga kepemimpinan yang terbuka untuk diakses oleh masyarakat.

“Dari Yogyakarta, Tahta Untuk Rakyat, yang menjadi komitmen Sri Sultan Hamengku Buwono IX, adalah contoh nyata kepemimpinan Manunggaling Kawulâ-Gusti, yang dijiwai filosofi Hamêmayu-Hayuning Bawânâ, dengan etos kerja Sawiji, Grêgêt, Sêngguh, Ora-Mingkuh, secara substansial memiliki sifat empati kepada kawulâ atau masyarakat,” jelas Sri Sultan.

BACA JUGA:7 Destinasi Wisata Dekat Malioboro, Jogja: Merasakan Pesona Keindahan dan Kebudayaan Yogyakarta

Dalam acara tersebut dipandu Pemikir Kebhinekaan Sukidi dengan mengangkat tema "Berdaulat untuk Kesejahteraan Rakyat". Dalam kesempatan itu, bertindak sebagai penanggap, Akademisi UGM Arie Sudjito dan Budayawan sekaligus penulis, Muhamad Sobary. (*)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: