YOGYAKARTA, diswayjogja.id - Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) diprediksi menghadapi ancaman serius dari cuaca ekstrem selama periode libur akhir tahun.
Curah hujan yang berada di atas normal, ditambah potensi bencana hidrometeorologi, membuat sejumlah destinasi wisata berada dalam kondisi rawan.
Dosen Prodi Bisnis Perjalanan Wisata Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Ghifari Yuristiadhi M. Makhasi, menjelaskan bahwa BMKG telah memprediksi peningkatan curah hujan ekstrem sejak September, dan kondisi tersebut terus berlanjut hingga Desember, di mana puncak hujan diperkirakan terjadi pada Januari - Februari 2026.
“Curah hujan di DIY saat ini masih di atas rata-rata. Potensinya meningkat terus, dan dampaknya meliputi banjir, genangan air, hingga tanah longsor,” ujarnya di DPRD DIY, Rabu (3/12/2025).
BACA JUGA : Jelang Libur Nataru, Harga Cabai Merah di DIY Tembus Rp63 Ribu per Kilogram
BACA JUGA : Angkutan Motor Gratis Nataru Dibuka, KAI Daop 6 Yogyakarta Siapkan Kuota 2.784 Unit
Data BPBD DIY juga menunjukkan tren kenaikan intensitas hujan dalam beberapa bulan terakhir. Peringatan dini yang dikeluarkan hari ini mencakup berbagai wilayah, mulai dari Imogiri, Pundong, hingga Purwosari, dengan potensi hujan lebat disertai angin kencang dan petir. Menurut Ghifari, sejumlah wilayah perbukitan di DIY patut diwaspadai.
“Untuk potensi longsor, zona rawan ada di Gunungkidul, Kulon Progo, dan Sleman,” katanya.
Sementara kawasan dataran rendah di berbagai kecamatan di DIY lebih berisiko mengalami banjir dan genangan air. Dia mencontohkan kejadian longsor yang beberapa waktu lalu memutus akses menuju salah satu destinasi wisata populer di wilayah selatan.
“Gangguan akses ini bisa menghambat mobilitas wisatawan dan berdampak pada kunjungan, terutama menjelang puncak liburan,” jelasnya.
BACA JUGA : Sleman Siap Hadapi Libur Panjang Nataru, Jalan Rusak Diperbaiki
BACA JUGA : Jelang Libur Nataru, KAI DAOP 6 Yogyakarta Ingatkan Penumpang Taat Aturan Bagasi
Ghifari menilai bahwa DIY kini tidak hanya menghadapi cuaca ekstrem, tetapi juga risiko erupsi dan aktivitas geologi lainnya.
“Jogja sedang menghadapi multi-hazard. Kondisi ini membutuhkan pendekatan yang lebih preventif dan edukatif, terutama untuk aktivitas wisata menjelang akhir tahun,” terangnya.
Untuk mengurangi risiko bagi wisatawan dan pelaku industri, Ghifari menekankan pentingnya menerapkan hierarki pengendalian risiko, yang meliputi lima tahapan, di antaranya eliminasi resiko, substitusi aktivitas, engineering control, administrative control, serta penggunaan APD.