Praktisi Hukum: KUHAP sebagai Rules of the Game yang Mengatur Hukum Pidana Adat

Minggu 15-12-2024,16:44 WIB
Reporter : Anam AK
Editor : Syamsul Falaq

BANTUL, diswayjogja.id - Pakar dan praktisi hukum menilai pembaharuan KUHP dapat mempengaruhi kualitas putusan hukum. Diperbaharuinya Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 terkait Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang disebut banyak mengandung nilai keindonesiaan, dipandang oleh pakar hukum masih memerlukan pengaturan yang selaras dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 

Hal tersebut disampaikan ahli hukum acara pidana UNNES, Cahya Wulandari, dalam seminar nasional bertajuk “Ide Pembaharuan Hukum Acara Pidana Berdasarkan Nilai-Nilai Keindonesiaan” yang digelar oleh Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Sabtu (14/12/2024). 

Dalam seminar tersebut, dibahas urgensi pembaharuan hukum acara pidana melalui KUHAP dan sinerginya dengan KUHP. Menurut Cahya, KUHAP yang rencananya juga akan diperbaharui pada tahun 2025, memiliki latar belakang secara filosofis dan sosiologis yang tidak terpisahkan dari KUHP.

Cahya menjelaskan bahwa terdapat pergeseran asas legalitas dalam KUHP terbaru, yang juga akan mengatur hukum tidak hanya melalui Undang-Undang. Namun juga hukum yang hidup di masyarakat, seperti hukum pidana adat. Menurutnya, hukum pidana adat banyak terdapat di beberapa daerah tertentu di Indonesia.

BACA JUGA : Wujudkan dan Dukung Iklim Hukum Berkeadilan, Dirjen Bea Cukai Sediakan Mekanisme Keberatan

BACA JUGA : Bawaslu Diberi Kebebasan Layaknya KPK? Ini Pernyataan Pakar Hukum Tata Negara UGM

“Hukum pidana adat sendiri memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga akan sulit bagi aparat penegak hukum untuk benar-benar menerapkannya dengan optimal. Inilah fungsi dari KUHAP sebagai rules of the game yang mengatur hukum pidana adat sebagai sumber hukum untuk memidana,”ujar Cahya yang juga Kepala Kantor Hukum UNNES.

Ia menggarisbawahi, bahwa KUHAP yang saat ini berlaku belum mengatur secara jelas terkait model penerapan termasuk pemberlakuan hukum pidana adat. Ini menjadi catatan yang menurutnya perlu diperhatikan, mengingat fungsi dari hukum yang hidup di masyarakat dapat menjadi dasar dalam menghapuskan sifat yang melawan hukum atas suatu perbuatan yang dirumuskan sebagai tindak pidana. 

"Bahwa pembaharuan KUHAP perlu mempertimbangkan hal tersebut, termasuk penegasan terhadap konsep pemaafan hakim dalam putusan," jelasnya. 

Sementara itu, Hakim Pengadilan Tinggi Yogyakarta, Harini menyebutkan bahwa pemaafan hakim merupakan kewenangan seorang hakim untuk memberi maaf kepada seseorang yang melakukan tindak pidana ringan. 

BACA JUGA : Pemkot Sosialisasikan Pemberian Bantuan Hukum Gratis Untuk Warga Miskin Di Kota Yogyakarta

BACA JUGA : Sejarah Terulang Setelah 56 Tahun, Ini Dasar Hukum Penyerahan Duplikat Bendera Pusaka Merah Putih oleh BPIP

Hal tersebut berpedoman kepada Pasal 70 KUHP dalam menggunakan konsep pemaafan hakim, dan belum terkandung dalam KUHAP.

“Kendati demikian, masih terdapat beberapa permasalahan dalam penerapan konsep ini, dimana hakim dituntut untuk benar-benar menggali peristiwa hukum yang terjadi agar putusannya dapat bermanfaat baik bagi terdakwa maupun korban, serta dapat memulihkan keadaan masyarakat secara maksimal,” terang Harini. 

Hariani pun merasa bahwa adanya Rancangan KUHAP (RKUHAP) saat ini telah mengatur kewenangan hakim dalam memutus tindak pidana, dan membedakan antara putusan yang berupa pemaafan hakim dengan yang dilepas dari segala tuntutan. 

Kategori :