JOGJA, diswayjogja.id - Asosiasi Pertunjukan Seni Nusantara (Asitantra) DIY bakal menggelar pertunjukan sandiwara Ketoprak Wayang Tari (K’wari) dengan lakon Misteri Bengawan Sore Ampak-ampak Ing Panolan.
Lakon Misteri Bengawan Sore Ampak-ampak Ing Panolan akan berkutat tentang polemik perebutan kekuasaan kerajaan.
Raden Pangesthi Kujana yang merasa haknya dibegal oleh Waliyul Amri lantaran memberikan taha keprabon kepada Suljama, sesama anak raja namun beda ibu.
Ia merasa dilangkahi bahkan jauh ketika Waliyul Amri memilih Adipati Unus menggantikan ayahnya sebagai sultan.
BACA JUGA : Dukung Pengembangan Transportasi Ramah Lingkungan, Pemda Jogja Mulai Uji Coba Bus Listrik
BACA JUGA : Pakai Sistem Kerjasama Operasi, Hiswana Migas DIY Berharap SPBU Bermasalah Bisa Segera Beroperasi
Singkat cerita Raden Pangesthi dicegat oleh keponakannya sendiri, Raden Permada di tepi Bengawan Sore. Merasa kalah digadya Raden Permada menghimpun puluhan tokoh sakti untuk mengeroyok pamannya.
Hasilnya Raden Pangesthi terkapar bersimbah darah. Sejarah ini selanjutnya terulang kembali kala Surenggana anak semata wayang Raden Pangesthi merasa lebih berhak untuk menjadi ratu. Cerita lalu akan berjalan dari kiprah Surenggana dalam menunaikan ambisinya.
Penulis nashkah, Joko Santosa mengatakan bila banyak hal yang dibicarakan dalam pertunjukan ini. Meski berlatar kerajaan, tak membuat topik yang diusung jadi terbatas.
“Kami bicara macam-macam, tentang dinamika kekinian, tentang bonus demografi, tentang geopolitik, sampai ke oligarki,” kata Joko pada Minggu (24/11/2024).
Punya lokus cerita pada konflik perebutan kekuasaan, lakon ini digambarkan dengan kursi yang dikelilingi tangan-tangan berdarah.
Potret itu menyimbolkan bagaimana kursi kekuasaan diincar banyak tangan hingga tak jarang diperebutkan dengan pertumpahan darah.
BACA JUGA : Inovasi Saka Wirausaha, Diskop UKM Yogyakarta Mendapat Penghargaan Skala Nasional
Di masa kini bonus demografi yang melimpah merebutkan “kursi meja” yang jumlahnya mungkin tak sebanding dengan permintaan yang ada. Bila tidak dikelola dengan baik, bonus demografi ini disebut Joko layaknya tombak bermata dua.