“Awal baca buku buat hiburan, yang beda dengan jurusan kuliah. Suka baca buku sejarah, waktu itu dapet buku Pramoedya, baca itu kok bagus.”
Kebiasaan membeli buku lawas semakin rutin. Sebagian besar uang sakunya untuk membeli buku. Hingga pada suatu waktu, dia membutuhkan uang.
Bagas menjual sebagian bukunya. Penjualan awal pada teman kuliah atau teman ngopi. Belum terpikirkan untuk membuat usaha penjualan buku.
BACA JUGA : 10 Kedai Bakmi Jawa Paling Legendaris yang Ada di Jogja, Bumbunya Medok Banget
BACA JUGA : Event CRSL Concert #5 Mengajak Anak Muda Euphoria Bersama di Kota Jogja
Semuanya masih untuk senang-senang. Sampai 2014, Bagas memutuskan serius berdagang buku secara online.
Berburu Koleksi Buku Lawas
Saat merintis jual-beli buku lawas, Bagas masih punya banyak sumber daya. Prinsipnya berupa keuntungan koneksi penjual buku, dan pasar yang melimpah.
Keuntungan itu terutama saat awal Ruang Melamun berdiri, penjualan online masih sedikit.
Sementara saat ini, penjualan online semakin marak. Sehingga tidak jarang, tempat kulakan buku lawas Bagas menjualnya langsung ke konsumen.
Semakin banyak pencari buku lawas, semakin meningkat pula harganya.
BACA JUGA : Festival Pilkada Jogja 2024: Biaya Pendidikan, UMK dan Sampah Jadi Isu Perhatian Pemilih Muda
BACA JUGA : Pemkot Jogja Libatkan Tokoh dan Organisasi Masyarakat untuk Ketertiban Pilkada 2024
“Banjir banget [penjualan buku lawas di] online, semua orang punya hak menjual langsung di online ke siapapun. [Mendapatkan buku lawas saat ini] lebih susah, yang cari lebih banyak,” kata Bagas.
Meski hidup dari penjualan buku secara online, Bagas sadar ada ‘lubang’ besar di dalamnya. Penjualan online minim interaksi yang berkualitas.
Pembeli kadang kala menempatkan diri sebagai raja. Di beberapa waktu dan kondisi, transaksi online terasa kurang manusiawi.
Maka dari itu, perlu lah Ruang Melamun hadir dalam bentuk offline. Agar interaksi tetap terjaga, buku tetap hidup seperti seharusnya, dan merawat melamun agar lebih berkualitas.