JAKARTA (Disway Jogja) - Kebijakan penggunaan aplikasi MyPertamina untuk membeli Bahan Bakar Minyak Bersubsidi mulai menuai protes.
Sebab, kebijakan tersebut dinilai merepotkan masyarakat umum sebagai wong cilik yang seharusnya berhak menerima subsidi. Terlebih, banyak masyarakat yang belum paham cara penggunaan aplikasi karena dianggap ribet dan merepotkan. Hal itu, diungkapkan Anggota Komisi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) Paramitha Widya Kusuma. "Pada dasarnya, saya tidak setuju dengan segala sesuatu yang membuat rakyat kecil ribet dan susah. Apalagi, untuk mendapatkan apa yang sudah menjadi hak bagi mereka," ungkap anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan tersebut. Penggunaan aplikasi untuk membeli BBM bersubsidi, lanjut Paramitha, justru akan memicu permasalahan baru. Yakni, BBM bersubsidi jenis Pertalite tak akan tepat sasaran karena tidak sampai kepada yang berhak. Padahal, dulu sudah ada program digitalisasi di lebih dari 5.500 Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU, red). Sehingga, justru patut dipertanyakan efektifitas digitalisasi yang selama ini sudah menghabiskan dana triliunan. "Ketimbang pakai aplikasi baru, Pertamina harusnya mengoptimalkan digitalisasi yang sudah dipasang saat Dirut Patra Niaga yang lama, Pak Mas’ud Khamid masih menjabat," terang Anggota DPR RI yang saat ini duduk di Komisi VII. Menurutnya, tujuan digitalisasi sudah jelas agar Pertamina punya data akurat dan transparan. Sebenarnya data penjualan Pertalite, Solar dan Pertamax sudah ada sehingga tak perlu menggunakan aplikasi baru untuk beli Pertalite. Akar masalahnya, lebih pada pentingnya teknis pengawasan yang harus lebih diperketat. Terkait kewenangan pengawasan, sepenuhnya menjadi tanggung jawab BPH Migas dan bukan Pertamina. "Tugas Pertamina, idealnya mengadakan dan menyalurkan BBM bersubsidi hingga ke daerah terpencil. Pertanyaannya, bagaimana kinerja pengawasan BPH Migas selama ini?" tanyanya. Lebih lanjut Paramitha menuturkan, terkait kebijakan kuota BBM ke semua daerah kewenangannya ada di BPH Migas. Ketika kuotanya sudah dibagikan, bagaimana teknis pengawasannya. Padahal, tupoksi pengawasan setiap liter BBM yang dibeli konsumen itu ada fee yang diperoleh BPH Migas. Sehingga, jika memang pengawasannya selama ini belum maksimal berarti fee yang dibayarkan sia-sia. Terkait solusi permasalahan, ada dua opsi yang bisa dilakukan untuk mengurai masalah ini. "Pertama, maksimalkan pemanfaatan digitalisasi. Karena, sudah lebih dari 90 persen SPBU terpasang alat digitaliasasi di seluruh Indonesia tapi tidak dijalankan dengan baik," katanya. Tidak hanya di Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur hingga Sumatra sudah banyak temuan digitalisasi yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Harusnya, itu yang harus dievaluasi pelaksanaannya. Kedua, BPH Migas wajib bekerja sesuai dengan tupoksi. Sebab, jika aplikasi my Pertamina tersebut kembali gagal dalam menyalurkan BBM bersubsidi kepada yang berhak. Nantinya, yang akan diserang pasti Pertamina dan Patra Niaga, bukan BPH Migas. Apalagi, jika sampai ada kelangkaan tentu yang dibidik Pertamina. Padahal, BPH Migas yang bertanggungjawab sesuai dengan undang-undang. (syf)Beli BBM Pakai Aplikasi MyPertamina Merepotkan ‘Wong Cilik’
Kamis 30-06-2022,22:24 WIB
Editor : Wawan Setiawan
Kategori :