Jejak Islam di Aceh Jadi Simbol Ketahanan Iman di Perbatasan Samudra

Jejak Islam di Aceh Jadi Simbol Ketahanan Iman di Perbatasan Samudra

Beduk dan Mimbar Simeulue di Aceh--

diswayjogja.id – Indonesia, sebagai negara kepulauan yang memiliki sejarah panjang masuknya agama Islam, menyimpan jejak-jejak peradaban yang tersebar hingga ke pulau-pulau terluar. Salah satu wilayah yang menyimpan kisah spiritual dan budaya yang kaya adalah Pulau Simeulue, sebuah pulau kecil di Samudra Hindia yang menjadi bagian dari Provinsi Aceh. Jauh dari hiruk pikuk pusat kota, masyarakat di sana menjaga erat peninggalan berharga yang menjadi bukti nyata ketahanan iman dan perjalanan dakwah di masa lampau. Benda-benda ini, yang kini telah berusia lebih dari seabad, berfungsi sebagai pengingat akan fondasi kuat nilai-nilai keislaman yang tertanam jauh di masa nenek moyang mereka.

Peninggalan yang dimaksud bukanlah bangunan megah atau reruntuhan istana, melainkan dua artefak esensial dalam praktik ibadah: sebuah beduk kuno dan mimbar kayu yang terawat. Kehadiran benda-benda ini di Desa Lataling, Kecamatan Teupah Selatan, Kabupaten Simeulue, menegaskan bahwa Islam telah mengakar kuat di wilayah tersebut jauh sebelum era kemerdekaan. Usia beduk dan mimbar yang terhitung sejak tahun 1914, yaitu pada masa penjajahan, menunjukkan bahwa kegiatan keagamaan dan pembinaan spiritual masyarakat tidak pernah surut meskipun berada di bawah tekanan zaman dan keterbatasan geografis sebagai pulau terisolasi.

Bagi generasi kontemporer, artefak-artefak ini mungkin hanya terlihat sebagai benda mati. Namun, bagi komunitas lokal, beduk dan mimbar tersebut adalah warisan yang hidup. Keduanya merupakan tali penghubung yang mengikat masa kini dengan tradisi leluhur, mengingat fungsi mereka yang sangat krusial dalam mengatur kehidupan sosial dan ritual peribadatan di masa pra-teknologi. Cerita di balik pembuatan, penggunaan, hingga upaya perawatannya adalah narasi yang perlu diangkat, tidak hanya untuk masyarakat Simeulue tetapi juga sebagai pengetahuan bagi seluruh bangsa.

Oleh karena itu, laporan ini akan menelusuri secara mendalam kisah di balik beduk dan mimbar bersejarah yang kini menjadi penjaga waktu di Masjid Nurus Sa’dah Desa Lataling. Kita akan membahas rincian fisik benda, peran historisnya dalam kehidupan masyarakat, tantangan yang dihadapi dalam pelestarian, serta visi pemimpin desa untuk menjadikan situs ini sebagai destinasi utama yang menarik minat wisatawan untuk menyelami kekayaan sejarah Islam di perbatasan barat Indonesia.

BACA JUGA : Tersembunyi dan Viral! 8 Tempat Wisata Seru Banda Aceh 2025, Dijamin Bikin Liburan Menarik Saat Akhir Pekan

BACA JUGA : 5 Ragam Kuliner Khas Aceh Menggugah Selera dengan Paduan Rasa Paling Melimpah, Simak Disini

Artefak Beduk Kayu Sepanjang Empat Meter

Peninggalan paling mencolok dan menjadi sorotan utama adalah beduk raksasa yang ditempatkan di Masjid Nurus Sa’dah. Beduk ini tercatat dibuat pada tahun 1914, menjadikannya berusia 112 tahun pada saat laporan ini ditulis. Usia yang melampaui satu abad ini menjadikan beduk tersebut sebagai saksi bisu berbagai peristiwa sejarah, mulai dari pergantian pemerintahan kolonial, perjuangan kemerdekaan, hingga era modernisasi.

Dari segi konstruksi, beduk ini dibuat secara tradisional dari satu batang kayu utuh yang dibentuk dan dilubangi secara manual. Dimensinya terbilang luar biasa, dengan panjang mencapai empat meter. Ukurannya yang monumental ini bukan tanpa alasan; di masa itu, belum ada pengeras suara (speaker) modern. Ukuran besar dan bahan dari kayu solid memastikan bahwa suara tabuhan beduk dapat menggema jauh, menjangkau seluruh penjuru desa, bahkan hingga ke perkampungan tetangga, sebagai pengingat penting akan datangnya waktu shalat. Selain itu, beduk ini memiliki fungsi sosial yang tinggi, khususnya saat bulan Ramadan tiba, di mana ia berperan sebagai penanda waktu imsak (berbuka puasa) dan fajar (sahur).

Sementara beduk memiliki dimensi yang sangat mencolok, mimbar kayu yang berada di masjid yang sama juga tidak kalah penting. Meskipun laporan tidak menyebutkan dimensi pasti mimbar tersebut, keberadaannya bersamaan dengan beduk berusia lebih dari satu abad menjadikannya salah satu mimbar tertua yang masih aktif digunakan untuk ritual keagamaan. Mimbar adalah tempat khatib menyampaikan khutbah Jumat atau ceramah keagamaan. Kontinuitas penggunaan mimbar ini secara turun-temurun menjadi simbol tak terputusnya rantai dakwah dan pengajaran Islam di Desa Lataling.

Tantangan Pelestarian dan Upaya Rehabilitasi Komunitas

Meskipun memiliki nilai sejarah yang tak ternilai, perjalanan pelestarian beduk raksasa ini ternyata menghadapi berbagai tantangan signifikan. Menurut penuturan Amrayuda, beduk tersebut sempat mengalami kerusakan yang cukup parah. Kerusakan ini terjadi bukan karena faktor usia semata, melainkan akibat seringnya beduk diikutsertakan dalam berbagai pameran dan kegiatan di luar Desa Lataling. Mobilitas yang tinggi dan berpindah-pindahnya lokasi penyimpanan membuat kondisi fisik beduk tidak terjaga dengan baik.

Bahkan, diceritakan bahwa pada satu masa, gendang raksasa itu sempat terbelah menjadi dua bagian. Kejadian ini tentu menjadi pukulan telak bagi masyarakat yang menganggap beduk tersebut sebagai simbol kebanggaan. Kondisi kerusakan parah ini kemudian mendorong masyarakat desa untuk segera mengambil tindakan konservasi yang diperlukan. Berkat inisiatif dan kerja keras komunitas Desa Lataling, beduk tersebut akhirnya berhasil direhabilitasi dan diperbaiki secara saksama. Proses pemugaran ini memastikan bahwa warisan kayu bersejarah ini dapat kembali utuh dan lestari di tempat asalnya.

BACA JUGA : 7 Rekomendasi Kuliner Lezat Khas Aceh Menggugah Selera, Penuh Bumbu Rempah Paling Otentik

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: