Tingginya Kasus Bunuh Diri, Gunungkidul Kini Jadi Sorotan Dunia Internasional

Tingginya Kasus Bunuh Diri, Gunungkidul Kini Jadi Sorotan Dunia Internasional

Gunungkidul kembali menjadi sorotan dunia internasional karena tingginya angka kasus bunuh diri--iStockphoto

Selain itu, tren kasus bunuh diri di Gunungkidul mayoritas dilakukan dengan metode gantung diri. Sayangnya, meskipun ada berbagai teori pencegahan, belum ada pendekatan yang dapat menanggulangi permasalahan ini secara komprehensif.

Pada tahun 2024, jumlah ODGJ di Gunungkidul tercatat mencapai 1.650 orang, dengan 80 persen di antaranya sudah mendapatkan penanganan. Namun, Ismono menekankan bahwa jumlah ini seharusnya tidak terus bertambah.

BACA JUGA : Motif Mahasiswa UGM Jatuh dari Lantai 11 Hotel Porta Bunuh Diri, Polisi: Korban Alami Gangguan Psikologis

BACA JUGA : Duh Bikin Gregetan! Seorang Pria di Bantul Nekat Bunuh Diri, Anak dan Istrinya Nyaris Ikut

Salah satu tantangan utama adalah kurangnya tenaga kesehatan jiwa. Saat ini, hanya ada 11 tenaga kesehatan jiwa, termasuk tiga psikolog klinis yang tersebar di tiga puskesmas.

Dan saat ini sedang mencari strategi yang tepat untuk menangani kesehatan mental di Gunungkidul.

“Kami telah melakukan survei ke berbagai daerah dan Gunungkidul menjadi salah satu wilayah yang dipilih untuk program percontohan,” ungkap seorang perwakilan dari IPI, Muhammad Firmansyah.

IPI bekerja sama dengan konsultan dari Australia, Rahel Kremniezer dan Ayelet Samuel, dalam upaya menanggulangi permasalahan kesehatan mental di Gunungkidul.

BACA JUGA : Kronologi Kopda Muslimin Tewas Bunuh Diri, Ibu Rusiah: Muntah-muntah Lalu Meninggal

BACA JUGA : Ledakan Diduga Bom Bunuh Diri Hantam Polsek Astanaanyar Bandung, Pelaku Tinggalkan Sepeda Motor

Rahel menyatakan bahwa sementara ini tugas timnya adalah mendengarkan masukan dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk tenaga kesehatan, kader, siswa, dan pihak terkait lainnya.

“Kami ingin memahami apa yang sudah ada dan apa yang masih kurang. Misalnya, apakah layanan kesehatan mental sudah tersedia tetapi sulit diakses, atau memang belum ada sama sekali. Apakah ada program kesehatan mental di sekolah yang bisa ditingkatkan? Semua ini akan bergantung pada hasil diskusi hari ini,” ujar Rahel.

Program ini nantinya akan diadopsi dengan mempertimbangkan nilai-nilai budaya lokal. Rahel menekankan bahwa mereka tidak akan sekadar menerapkan program dari luar negeri, melainkan menciptakan solusi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Gunungkidul.

“Yang paling penting adalah keberlanjutan program ini agar generasi berikutnya tetap bisa mendapatkan manfaatnya. Kami ingin melihat peningkatan dalam status kesehatan mental masyarakat Gunungkidul sehingga mereka dapat menjalani hidup dengan lebih percaya diri dan berdaya,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: jogja.suara.com