UGM Gelar Konferensi Internasional IASFM, Bahas Migrasi Paksa Akibat Konflik Etnis dan Agama

 UGM Gelar Konferensi Internasional IASFM, Bahas Migrasi Paksa Akibat Konflik Etnis dan Agama

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof Tri Nuke Pudjiastuti, saat memaparkan sebagai keynote lecturer dalam Konferensi Internasional IASFM 2025 di Grha Sabha Pramana UGM, Selasa (21/1/2025).--Foto: Anam AK/diswayjogja.id

SLEMAN, diswayjogja.id - Berdasarkan daya United Nations HIgh Commissioner fore Refugess (UNHCR), pada akhir tahun 2022 terdapat 108,4 juta orang dari seluruh dunia harus berpindah tempat secara paksa, dan sebanyak 76 persen dari mereka ditampung di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Persoalan tersebut dibahas dalam Konferensi Internasional Association fot the Study of Forced Migration (IASFM) yang diinisiasi oleh Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (FIB UGM) bersama Resilience Development Initiative Urban Refugees (RDI UREF), Selasa (21/1/2025), di Grha Sabha Pramana UGM.

Senior Fellow RDI, Akino M Tahir menjelaskan, Indonesia tidak terlalu banyak berbicara tentang isu migrasi paksa. Melalui konferensi internasional yang dihadiri akademisi dan peneliti dari berbagai negara tesebut, sehingga bisa berkontribusi terhadap permasalahan tersebut.

"Ke depan, kita semakin bisa mungkin mengantisipasi. Mungkin tidak bisa langsung menyelesaikan gitu ya. Tapi, ada antisipasi yang bisa kita lakukan dalam itu tersebut," ugkapnya. 

BACA JUGA : Makan Bergizi Gratis Mulai Terlaksana, Pakar UGM Sebut Harus Ada Indikator Keberhasilan Program

BACA JUGA : Jadi Nomor 1 di Indonesia Versi Edurank, Fakultas Farmasi UGM Konsisten Telurkan Lulusan Unggul

Selain pembahasan migrasi paksa tersebut, juga dibahas isu-isu kota dan perpindahan penduduk khususnya di kawasan Asia-Pasifik.

"Kita punya ethnic conflict, kita punya pengusiran dari konflik satu ras dengan yang lainnya, terus isu urbanisasi yang juga menjadi tema di konferensi ini. Belum lagi isu climate change, belum lagi isu bencana itu yang masih di dalam satu negara," jelasnya.

Permasalahan migrasi paksa pada kawasan Asia-Pasifik yang telah mengalami peningkatan signifikan seiring dengan adanya migrasi reguler.

Pada tahun 2023, kawasan ini menampung sekitar 14,7 juta orang yang menjadi perhatian UNHCR, termasuk 7 juta pengungsi dan pencari suaka, 4,9 juta pengungsi dalam negeri, dan 2,5 juta orang tanpa kewarganegaraan. 

BACA JUGA : Predikat Memuaskan, Fakultas Farmasi UGM Resmi Selesaikan Proses Akreditasi ASIIN untuk Lima Prodi

BACA JUGA : Perayaan Momentum Satu Dekade, Kanogama UGM Gelar Event Lari di Februari 2025

"Jadi kita fokusnya tidak hanya untuk menghasilkan paper akademik yang untuk dibaca para akademisi saja, tapi juga untuk memberikan awareness kepada banyak orang Indonesia tentang isu-isu ini penting," tuturnya.

Sementara itu, Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof Tri Nuke Pudjiastuti, menjelaskan pentingnya konferensi internasional ini, karena Indonesia sedang dalam persoalan tersebut, walaupun jumlah pengungsi dan pencari suaka di Indonesia sangat sedikit dibanding negara-negara lain.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: