Langkah ini diarahkan untuk memastikan korban, terutama anak-anak dan perempuan, segera mendapatkan penanganan medis, psikologis, dan sosial.
Menurutnya, keterlambatan penanganan kerap menimbulkan trauma jangka panjang yang tidak selalu terlihat secara kasat mata.
“Tujuannya agar korban mendapatkan penanganan, sehingga tidak mengalami trauma yang tidak diketahui,” tuturnya.
Ia mengakui bahwa dengan sistem pelaporan yang semakin terbuka dan kesadaran masyarakat yang meningkat, jumlah kasus yang tercatat bisa saja mengalami kenaikan.
BACA JUGA : Disnaker Sleman Tegaskan Syarat Ketat untuk Calon Pekerja Migran, Perempuan Wajib Penuhi Proteksi Anak
BACA JUGA : Kongres Pekerja Perempuan DIY 2025, Mesin Baru Gerakan Buruh yang Tak Bisa Diabaikan
Namun, kenaikan tersebut dinilai sebagai sinyal bahwa korban mulai berani berbicara dan sistem perlindungan berjalan lebih efektif.
“Otomatis, angka mungkin bertambah, tetapi cita-cita kami adalah agar semua korban bisa ditangani dengan baik,” imbuhnya.
Dalam upaya ini, DP3APPKB Bantul juga menggandeng berbagai unsur, termasuk aparatur desa, organisasi masyarakat, dan relawan perlindungan perempuan dan anak.
Salah satu yang terlibat adalah Martabat dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang tergabung dalam GP3 AB2KP.
Pendekatan kolaboratif ini diharapkan dapat memutus praktik kekerasan yang selama ini kerap tersembunyi di ruang domestik.
Pemerintah menilai, keberhasilan penanganan kekerasan tidak diukur dari kecilnya angka statistik, melainkan dari sejauh mana korban terlindungi dan pulih.