“Kami ingin memastikan bahwa Wormy Box tidak mudah ditiru secara desain. Ke depan, kami juga akan melakukan publikasi, produksi massal, dan inovasi berkelanjutan agar produk ini terus relevan,” jelas Maureen.
BACA JUGA : Bupati Sleman Dorong Waste to Energy 1.000 Ton/Hari, Sampah Jadi Energi Terbarukan
BACA JUGA : Darurat Sampah, DLH Yogyakarta Kosongkan Depo dan Tingkatkan Operasi UPS 24 Jam Mulai Hari Ini
Koordinator tim, Azkal Anas Ilmawan menambahkan bahwa sistem Wormy Box akan terus dikembangkan dengan integrasi IoT agar pengguna dapat memantau kondisi box melalui ponsel atau website secara real time.
“Output sensor nantinya bisa dipantau langsung lewat akun pengguna. Fitur ini sedang kami kembangkan agar pelanggan mendapatkan pengalaman digital yang lengkap,” kata Azkal.
Mahasiswa UGM berhasil menciptakan Wormy Box, inovasi budidaya cacing tanah berbasis teknologi Internet of Things (IoT) yang mampu mengolah sampah organik rumah tangga menjadi pupuk organik cair (POC) dan vermikompos bernilai jual tinggi.--Foto: Anam AK/diswayjogja.id
Azkal menjelaskan bahwa sistem teknologi yang digunakan pada alat ini telah mengadopsi perangkat ESP dengan kemampuan terhubung melalui jaringan Wi-Fi, baik menggunakan hotspot maupun koneksi rumah tangga.
“Wormy Box kami dilengkapi dua sensor, yaitu sensor suhu dan kelembaban yang digunakan untuk memantau media tempat cacing hidup. Data dari kedua sensor tersebut akan diambil oleh ESP dan dikirimkan ke jaringan Wi-Fi untuk kemudian diolah dan ditampilkan di website Wormy Box kami,” jelas Azkal.
BACA JUGA : Kelurahan Cokrodiningratan Dorong Pengelolaan Sampah Mandiri dengan Incinerator dan Galon Tumpuk
BACA JUGA : Sri Sultan Minta Penanganan Serius Usai Penumpukan Sampah di Depo Katamso
Website tersebut, lanjutnya, tidak hanya berfungsi untuk monitoring bagi pengguna, tetapi juga sebagai platform pemasaran dan layanan pengguna (user login) yang memungkinkan konsumen memantau kondisi alat secara real-time.
“Algoritma yang kami gunakan adalah fuzzy logic, sehingga kipas dan pompa air tidak hanya menyala atau mati secara otomatis, tetapi menyesuaikan tingkat kecepatan dan durasi kerja berdasarkan kondisi suhu serta kelembaban media,” imbuhnya.
Dengan sistem ini, kipas akan beroperasi maksimal ketika suhu terlalu panas, sedangkan pompa air akan aktif ketika media terlalu kering. “Begitu media sudah cukup lembab, pompa otomatis berhenti bekerja,” tambah Azkal.
Selain itu, alat ini juga mampu menghitung kapasitas dan volume sampah organik yang diolah, dengan kemampuan konsumsi cacing mencapai 300–500 gram per hari. Proses dekomposisi berlangsung antara 1 hingga 2 hari, tergantung kondisi media.
BACA JUGA : Dapur Rumah Tangga Capai 100 Ton Per Hari, Hasto Dorong Revolusi Pengelolaan Sampah Lewat MAS JOS
BACA JUGA : Manfaatkan Sampah Plastik, Jogja Life Cycle Ubah Jadi Produk Ekonomi
“Untuk panen, kami sarankan maksimal setiap delapan bulan, karena pada usia itu cacing sudah mencapai tahap dewasa dan siap diganti dengan generasi baru,” terangnya.