“Dari beberapa jenis disabilitas itu, saya juga menjadi penyandang disabilitas ganda yang tidak terlihat yakni autisme dan narkolepsi. Dimana, saya baru mengetahui hal tersebut pada umur 13 tahun dan 20 tahun,” pungkasnya.
BACA JUGA : FP3HPD DIY Jadi Garda Terdepan Pemenuhan Hak Para Penyandang Disabilitas
BACA JUGA : Dinas Sosial Kabupaten Tegal Serahkan Alat Permainan Edukatif untuk Penyandang Disabilitas
Tanda-tanda disabilitas tersebut sebenarnya dapat diketahui sejak kecil, tetapi Fahri memaparkan terkadang indikasi ini juga tidak jarang muncul ketika sudah dewasa.
Namun sayangnya faktor stigma sosial, kurangnya fasilitas pendukung, dan keterbatasan ketrampilan menjadi salah satu penghalang bagi penyandang disabilitas untuk berkembang dan mendapatkan pekerjaan.
Dapat dikatakan juga mayoritas lowongan pekerjaan hanya untuk disabillitas jenis daksa ringan dan sensorik saja.
“Bahkan, sebagai seorang individu yang tetap memiliki identitas diri terkadang cenderung tidak divalidasi dan tidak dipercaya baik itu oleh sesama disabilitas maupun tenaga kesehatan. Terkait dengan kebijakan juga menjadi penghalang bagi penyandang disabilitas, karena tools atau alat kesehatan di Indonesia untuk mendeteksi autisme masih sangat minim dan beberapa pengobatan tidak bisa tercover oleh BPJS – Badan Penyelenggara Jaminan Sosial,” tambah Fahri.
BACA JUGA : SIGAB Indonesia: 183 Kasus Kekerasan yang Menimpa Perempuan Difabel
BACA JUGA : Lampaui Batasan, Pekan Budaya Difabel 2024 di Yogyakarta Sajikan Agenda Seni yang Memukau
Hambatan atau tantangan ini rupanya juga dialami oleh Fahri. Untuk itu, ia pun menegaskan agar benar-benar mempelajari kondisi diagnosis termasuk memahami pemicu dan kelemahan diri sendiri.
Mengaitkan kondisi dengan kemampuan atau potensi diri juga penting untuk tetap bisa berkembang secara realistis.
“Terpenting adalah dukungan dan kepercayaan yang diperoleh dari keluarga. Sebab keluarga memiliki peran besar pada kestabilan dan kesembuhan diri kita,” tutupnya.